Showing posts with label Tarbiyah. Show all posts
Showing posts with label Tarbiyah. Show all posts
Ust. Arif Syarifuddin
Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar(senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullahshollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitabAl-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamahkepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikaptasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikaptasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yuTetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhajas-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun.Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
  1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
  2. Siyar A‘lam an-Nubala’
  3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon
(Sumber: Majalah Fatawa; dinukil dari muslim.or.id) link ummusalma.wordpress.org
Ramai yang mengaku bermazhab Syafi’e dan mengakui mengikuti serta mempraktikkan Islam berdasarkan istinbat hukum oleh imam asy-Syafi’i. Namun, hakikatnya, ramai yang keliru kerana banyak fatwa-fatwa imam asy-Syafi’i yang tidak kita ketahui malah kita mengabaikannya. Padahal semua fatwa-fatwa itu adalah sangat penting dan berkaitan sekitar isu aqidah dan persoalan i’tiqad. Dengan itu, sama-sama lah kita teliti semula beberapa fatwa-fatwa beliau tersebut dan sama-sama kita muhasabah diri.

Fatwa-fatwa ini hanyalah sebahagian kecil dari sejumlah fatwa atau pendapat imam asy-Syafi’i sahaja. Ianya diambil daripada buku/kitab berjudul “Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah”, karya/susunan Dr. Muhammad bin Abdil-Wahab al-’Aqil.

Sama-sama kita teliti,

1 – MERATAKAN KUBURAN

Imam asy-Syafi’e rahimahullah menyatakan:

“Saya suka kalau tanah kuburan itu tidak ditinggikan dan selainnya dan tidak mengambil padanya dan tanah yang lain. Tidak boleh, apabila ditambah tanah dan lainnya menjadi tinggi sekali, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar. Saya hanya menyukai ditinggikan (kuburan) di atas tanah satu jengkal atau sekitar itu dari permukaan tanah”. (Syarah Muslim 2/666, Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/257)

2 – HUKUM MEMBANGUNKAN BANGUNAN/BINAAN DI KUBURAN

“Saya suka bila (kuburan) tidak dibuat binaan dan bangunan, kerana itu menyerupai penghiasan dan kesombongan, dan kematian bukan tempat bagi salah satu dari keduanya. Dan saya tidak melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan Anshar didirikan sebarang binaan. Seorang perawi menyatakan dari Thawus, bahawa Rasulullah s.a.w. telah melarang kuburan dibinakan binaan atau ditembok. Saya sendiri melihat sebahagian penguasa di Makkah menghancurkan semua bangunan di atasnya (kuburan), dan saya tidak melihat para ahli fikih mencela hal tersebut. (al-Umm 1/277. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/258)

3 – HUKUM MEMBINA MASJID DI TEMPAT YANG ADA KUBUR

“Saya melarang dibinakan masjid di atas kuburan dan disejajarkan atau dipergunakan untuk solat di atasnya dalam keadaan tidak rata atau solat menghadap kuburan. Apabila ia solat menghadap kuburan, maka masih sah namun telah berbuat dosa”. (al-Umm 1/278. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/261)

4 – PERSOALAN FITNAH KUBUR

“Sesungguhnya Azab kubur itu benar dan pertanyaan malaikat terhadap ahli kubur adalah benar.” (al-I’tiqad karya Imam al-Baihaqiy. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/420)

5 – PERSOALAN HISAB, SYURGA, DAN NERAKA


“Hari kebangkitan adalah benar, hisab adalah benar, syurga dan neraka serta selainnya yang sudah dijelaskan dalam sunnah-sunnah (hadis-hadis), lalu ada pada lisan-lisan para ulama dan pengikut mereka di negara-negara muslimin adalah benar.” (Manaqib asy-Syafi’i, karya Imam al-Baihaqiy, 1/415. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/426)

6 – BERSUMPAH DENGAN NAMA SELAIN NAMA ALLAH

“Semua orang yang bersumpah dengan nama selain Allah, maka saya melarangnya dan mengkhuwatirkan pelakunya, sehingga sumpahnya itu adalah kemaksiatan. Saya juga membenci bersumpah dengan nama Allah dalam semua keadaan, kecuali hal itu adalah ketaatan kepada Allah, seperti berbai’at untuk berjihad dan yang serupa dengannya.” (al-Umm 7/61. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/271)

7 – PERNYATAAN TENTANG SYAFA’AT

“Beliau (Rasulullah s.a.w.) adalah manusia terbaik yang dipilih Allah untuk menyampaikan wahyu-Nya lagi terpilih sebagai Rasul-Nya dan yang diutamakan atas seluruh makhluk dengan membuka rahmat-Nya, penutup kenabian, dan lebih menyeluruh dan ajaran para rasul sebelumnya. Beliau ditinggikan namanya di dunia dan menjadi pemberi syafa’at, yang syafa’atnya dikabulkan di akhirat.” (ar-Risalah 12-13. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/291)

Beliau juga menyatakan tentang syarat diterimanya syafa’at:

“Semalam saya mengambil faidah (istimbath) dari dua ayat yang membuat saya tidak tertarik kepada dunia dan yang sebelumnya. Firman Allah: “...Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada keizinan-Nya....” (Surah Yunus, 1O: 3). Dan dalam kitabullah, hal ini banyak: “Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (Surah al-Baqarah, 2: 256) Syafa’at tertolak kecuali dengan izin Allah.” (Ahkamul Qur’an 2/180-181. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/291)

8 – PENDIRIAN BERKENAAN ASMA’ WA SIFAT ALLAH

Imam Syafi’e rahimahullah menjelaskan melalui riwayat yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talib radiallahu ‘anhu:

"Bagi-Nya dua tangan sebagaimana firman-Nya: (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka. Bagi-Nya tangan sebagaimana firman-Nya: Langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya: Setiap sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya. Baginya kaki sebagaimana sabda Nabi saw: Sehinggalah Dia meletakkan wajah dan KakiNya. Dia mempunyai jari sebagaimana sabda Nabi sallallahu 'alaihi wa-sallam: Tiadalah hati itu kecuali antara jari-jari dari jari-jari Ar-Rahman (Allah). Kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikan dari menyerupakan sebagaimana dinafikan sendiri oleh Allah sebagaimana difirmankan: (Tiada sesuatu yang semisal dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat)". (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba'ah Abi Hanifah wa Malik wa Syafi’e wa Ahmad, m/s. 46- 47, Cetakan pertama, 1412 -1992M. Darul 'Asimah Saudi Arabia)

Imam Syafi’e seterusnya menjelaskan:

"Dan Allah Ta'ala di atas 'Arasy-Nya (Dan 'Arasy-Nya) di langit”. (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, m/s. 40)

Imam Syafi’e seterusnya menjelaskan lagi:

"Kita menetapkan sifat-sifat (mengithbatkan sifat-sifat Allah) sebagaimana yang didatangkan oleh al-Quran dan yang warid tentangNya dari sunnah, kami menafikan tasybih (penyerupaan) tentangNya kerana dinafikan oleh diriNya sendiri sebagaimana firmanNya (Tiada sesuatu yang semisal denganNya)". (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, m/s. 42)

Imam Syafi’e telah menjelaskan juga tentang turun naiknya Allah Subhanahu wa-Ta’ala:

"Sesungguhnya Dia turun setiap malam ke langit dunia (sebagaimana) menurut khabar dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam". (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, m/s. 47)

Berkata Imam Syafi’e rahimahullah:

"Sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy-Nya dan ‘Arasy-Nya di atas langit" (Lihat: Iktiqad Aimmah al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa- Ahmad. Hlm. 179)

Ibnu Taimiyah, Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Syafi’e ada kesepakatannya dalam meyakini tentang turun-naiknya Allah iaitu berlandaskan hadis:

"Tuhan kita turun ke langit dunia pada setiap malam apabila sampai ke satu pertiga dari akhir malam, maka Ia berfirman: Sesiapa yang berdoa akan Aku perkenankan, sesiapa yang meminta akan Aku tunaikan dan sesiapa yang meminta keampunan akan Aku ampunkan". (H/R Bukhari (1141), Muslim (758), Abu Daud (4733), Turmizi (4393), Ibn Majah (1366) dan Ahmad (1/346))

9 – SIKAP IMAM ASY-SYAFI’E TERHADAP SYI’AH
Dari Yunus bin Abdila’la, beliau berkata: Saya telah mendengar asy-Syafi’i, apabila disebut nama Syi’ah Rafidhah, maka ia mencelanya dengan sangat keras, dan berkata: “Kelompok terjelek! (terhodoh)”. (al-Manaqib, karya al-Baihaqiy, 1/468. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486)

“Saya belum melihat seorang pun yang paling banyak bersaksi/bersumpah palsu (berdusta) dari Syi’ah Rafidhah.” (Adabus Syafi’i, m/s. 187, al-Manaqib karya al-Baihaqiy, 1/468 dan Sunan al-Kubra, 10/208. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486)

“asy-Syafi’i berkata tentang seorang Syi’ah Rafidhah yang ikut berperang: “Tidak diberi sedikit pun dari harta rampasan perang, kerana Allah menyampaikan ayat fa’i (harta rampasan perang), kemudian menyatakan: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”. (Surah al-Hasyr, 59: 10) maka barang siapa yang tidak menyatakan demikian, tentunya tidak berhak (mendapatkan bahagian fa’i).” (at-Thabaqat, 2/117. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/487)

10 – SIKAP IMAM ASY-SYAFI’E TERHADAP KAUM (ORANG-ORANG) SUFI

“Seandainya seorang menjadi sufi (bertasawwuf) di pagi hari, niscaya sebelum datang waktu Zuhur, engkau tidak dapati ia, melainkan telah menjadi orang bodoh.” (al-Manaqib lil Baihaqiy, 2/207. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/503)

“Tidaklah seorang sufi menjadi sufi, hingga memiliki empat sifat: malas, suka makan, sering merasa sial, dan banyak berbuat sia-sia.” (Manaqib lil Baihaqiy, 2/207. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/504)

“Asas tasawwuf adalah kemalasan.” (al-Hilyah 9/136-137. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/504) link http://bahaya-syirik.blogspot.com
Oleh: H. Fahmy Lukman, Drs., M.Hum.

Potret Buram Pendidikan Kita
            Berbagai tragedi telah mewarnai wajah dunia pendidikan kita, mulai perilaku dari siswa, mahasiswa sampai demontrasi para guru dan pendidik lainnya yang menuntut dinaikkan tunjangan mereka merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, betapa dunia pendidikan kita begitu rapuhnya. Ini semua merupakan representasi dari keadaan sistem pendidikan yang sekularistik-materialistik.
Dampak terhadap kondisi itu nampak ketika masyarakat Indonesia mengalami krisis multidimensional dalam segala aspek kehidupan. Fenomena kemiskinan, kebodohan, kezaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan dan berbagai bentuk patologi sosial  telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara,  sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman,  berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta  pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif,  pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi  terasa  semakin meningkat tajam.   Di sisi lain,   sekalipun pemerintahan ala reformasi telah terbentuk, tapi kestabilan politik belum juga kunjung terujud. Bahkan gejolak politik di beberapa daerah malah terasa lebih meningkat. Mengapa semua ini terjadi?
Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan karena perilaku manusia sendiri. Ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surah ar-Rum ayat 41:

﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ﴾

“Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan  oleh karena tangan-tangan manusia”. (QS. Ar Rum: 41)

Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab Shafwatu al-Tafasir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan  bi maa kasabat aydinnaas dalam ayat itu adalah “oleh karena kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia (bi sababi ma’ashi al-naas wa dzunu bihim)”.  Maksiat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan meninggalkan yang diwajibkan dan  setiap bentuk kemaksiyatan pasti  menimbulkan dosa dan dosa berakibat turunnya azab Allah Swt. Selama ini, terbukti   di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara,  banyak sekali kemaksiatan  dilakukan. Dalam sistem sekuler,  aturan-aturan Islam memang  secara sengaja tidak  digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Agama telah diamputasi dan dikebiri; dimasukkan dalam satu kotak tersendiri dan kehidupan berada pada kotak yang lain. Dalam urusan pengaturan kehidupan, sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Akibatnya, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk  tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik,  kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilai-nilai (kebenaran) melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya.  Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya  harus diraih. Ke sanalah - musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup ala Barat- orang mengacu.  Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat  yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial  hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat. Sikap beragama sinkretistik  intinya adalah menyamakan kedudukan semua agama. Paham ini  bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa, menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan sudut pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama, kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3) oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama, diperlukan aturan hidup bermasyarakat  yang mampu mengadaptasi  semua paham dan agama yang berkembang di dalam masyarakat.  Sikap beragama seperti ini menyebabkan  sebagian  umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan bahkan memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam saja  yang diridhai Allah SWT.
Sementara itu, sistem  pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia saleh, berkepribadian mulia yang sekaligus menguasai pengetahuan, ilmu, dan teknologi (PITEK). Secara formal kelembagaan, sekulerisasi  pendidikan ini telah dimulai  sejak adanya dua kurikulum pendidikan  keluaran dua departamen yang berbeda, yakni  Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional.  Terdapat kesan sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (PITEK) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh standar nilai agama.  Kalaupun ada hanyalah etik-moral (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Pendidikan yang materialistik  memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi.  Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan  investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa.  Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan,  jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi  yang sangat individual. Nilai transendental dirasa  tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan.  Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga.       Berbagai tragedi pun telah mewarnai wajah dunia pendidikan kita, mulai perilaku dari siswa, mahasiswa sampai demontrasi para guru dan pendidik lainnya yang menuntut dinaikkan tunjangan mereka merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, betapa dunia pendidikan kita begitu rapuhnya. Hal seperti itu dapat kita perhatikan dari kejadian tawuran, curas, pergaulan bebas yang terus berualng setiap tahun. Dalam perkara tawuran, berdasarkan data Direktorat Bimbingan Masyarakat Polda Metro Jaya dan sekitarnya bahwa tawuran antar pelajar pada tahun 2000 terjadi 197 kasus dan tahun 2001 terjadi 123 kasus. Pelajar yang tewas tahun 2000 tercatat 28 orang dan tahun 2001 sebanyak 23 orang. Pelajar luka berat tahun 2000 ada 22 orang dan 2001 ada 32 orang. Yang memperihatinkan bahwa tawuran tersebut telah turun ke tingkat siswa SLTP. Lebih mencemaskan lagi para pelajar mulai berani melakukan aksi kekerasan, seperti penodongan sampai pembajakan kendaraan umum (bus dan angkot), merampok penumpang, dan mereka tidak segan untuk melukai korbannya. Kini setiap melihat pelajar bergerombol (baik SMU atau SLTP) banyak orang menjadi cemas (Kompas, Minggu 12/5/02).
Ini semua merupakan “prestasi” dan representasi dari keadaan sistem pendidikan yang sekularistik-materialistik.
Pengamatan secara mendalam atas semua hal di atas,  membawa  kita pada  satu kesimpulan: bahwa  semua itu telah menjauhkan  manusia dari hakikat kehidupannya sendiri. Manusia telah dipalingkan dari hakikat visi dan misi penciptaannya.
Berikut ini merupakan simpulan permasalahan masyarakat kita akibat produk dunia pendidikan:
1. Agama dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dengan pengaturan kehidupan (sekularisme) sehingga agama (Islam) tidak lagi berperan sebagai pengendali motivasi manusia (driving integrating motive) atau faktor pendorong (unifying factor).
2. Kepribadian peserta didik mengalami keguncangan citra diri (disturbance of self image) dan keperibadian yang pecah (split personality) sehingga tidak memiliki kepribadian yang islami (Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah).
 3.  Pola hidup masyarakat bergeser dari sosial-religius ke arah masyarakat individual materialistis dan sekuler.
 4.  Pola hidup sederhana dan produktif cenderung ke arah pola hidup mewah dan konsumtif.
 5.  Struktur keluarga yang semula extended family cenderung ke arah nuclear family bahkan menuju single parent family.
 6.  Hubungan keluarga yang semula erat dan kuat cenderung menjadi longgar dan rapuh.
7. Nilai-nilai agama dan tradisional masyarakat cenderung berubah menjadi masyarakat modern bercorak sekuler dan permissive society.
8. Lembaga perkawinan mulai diragukan dan masyarakat cenderung untuk memilih hidup bersama tanpa nikah.
 9.  Ambisi karier dan materi yang tidak terkendali mengganggu hubungan interpersonal baik dalam keluarga maupun masyarakat.
            Untuk mengubah dan memperbaiki kondisi dunia pendidikan harus dilakukan pendekatan yang integratif dengan pengubahan paradigma dan pokok-pokok penopang sistem pendidikan. Untuk itu diperlukan Islam sebagai solusi terhadap kenyataan tersebut.

Kualitas SDM yang Rendah
Berbicara persoalan kualitas, maka sistem pendidikan Indonesia nampaknya terbilang jelek. Berdasarkan hasil penelitian The Political and Economic Risk Consultacy (PERC) medio September 2001 dinyatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia berada diurutan 12 dari 12 neghara Asia, bahkan lebih rendah dari Vietnam. Sementara itu berdasarkan hasil penilaian Program Pembangunan PBB (UNDP) pada tahun 2000 menunjukkan kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174 negara atau sangat jauh dibandingkan dnegan Singapura yang berada pada urutan ke-24, Malaysia pada urutan ke-61, Thailand urutan ke-76, dan Filipina urutan ke-77 (Satunet.com).
Alih-alih untuk memperoleh sebuah sekolah yang berkualitas tinggi, harapan untuk mendapatkan pendidikan saja semakin menipis seiring dengan krisis moneter dan ekonomi. Berdasarkan data APTISI Jateng dinyatakan bahwa setiap tahun lulusan SMU Jateng berkisar 200.000 orang dengan 151 PTS yang dapat menampung 75.000 orang. Saat ini hanya sekitar 11% lulusan SMU yang melanjutkan ke PT, selebihnya 89% masuk dunia kerja. Kondisi tersebut tidak saja menimpa para pelajar yang hendak melanjutkan pendidikannya ke jenajang PT, tetapi juga menimpa hampir semua pelajar di tingkat SD, SLTP. Dari Ciamis diberitakan sekitar 14.000 siswa SD, SLTP, dan SMU terancam drop out.
            Sementara itu, mereka yang mampu bersekolah pun belum tentu mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Dirjen Dikti Depdiknas mengungkapkan bahwa 50% PTN di luar Jawa tidak memiliki kualifikasi layak minimal. Untuk PTS mencapai angka 90%. PTN di pulau Jawa sebanyak 40% layak minimal, sedangkan untuk PTS 70% tidak layak minimal. Jika dalam jangka waktu tertentu tidak ada perubahan, alternatif terakhir adalah menutup PTN atau PTS itu (Kompas, 07/2/02).
            Jika kita perhatikan saat ini, masyarakat dunia pada saat ini sedang bergerak ke arah employee society, sementara sistem pendidikan kita masih bergulat untuk melahirkan para workers (pekerja). Benar bahwa Indonesia memiliki “prestasi” dalam pasaran tenaga kerja karena murah bayarannya; mereka tidak dapat bersaing dengan  knowledge employee ,walapun mereka dibayar jauh lebih mahal. Perkembangan industri manufaktur yang mengurangi pekerja manual dan mengutamakan pekerja informasi akan menghempaskan para lulusan lembaga pendidikan kita. Singkat kata, produk pendidikan dalam negeri tidak sanggup untuk bersaing dengan produk pendidikan luar negeri. Jalaluddin Rahmat ,dengan mengutip pendapat Drucker, menyatakan bahwa di pasaran kerja internasionbal juga di dalam negeri, tetangga-tetangga kita dari ASEAN akan  menjadi “kognitariat” dan anak-anak bangsa kita terhempas menjadi “proletariat”. Apa yang terjadi di negeri kita mirip dengan apa yang terjadi sekarang di negara-negara Timur Tengah. Kita akan menemukan orang India, Filipina, Singapura di front office, tempat kasir, atau pusat komputer. Kita akan dapatkan anak-anak bangsa kita terpuruk di dapur yang pengap sebagai pembantu, di dalam mobil sebagai supir, dan di tempat panas dan berdebu sebagai pekerja bangunan.
Terdapat sejumlah pertanyaan yang muncul ketika kita melihat kondisi yang telah dipaparkan di atas. Paling tidak pertanyaan tersebut adalah seberapa produktifkan sistem pendididikan nasional yang ada saat ini?  Berapa besaran  biaya pengorbanan yang telah diberikan untuk pendidikan? Dengan biaya dan pengorbanan tersebut, layanan pendidikan apa yang disiapkan, berapa banyak dan dengan mutu yang bagaimana, berkorelasi dengan hal sebelumnya berapa luas dan dengan kualifikasi mutu yang bagaimana hasil pendidikan dapat dicapai, dll.
            Untuk mengubah dan memperbaiki kondisi dunia pendidikan harus dilakukan pendekatan yang integratif dengan pengubahan paradigma dan pokok-pokok penopang sistem pendidikan. Untuk itu diperlukan Islam sebagai solusi terhadap kenyataan tersebut.


Pradigma Pendidikan Islam
           
Robert L. Gullick Jr. dalam  bukunya Muhammad, The Educator menyatakan: “Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang… Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad diantara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena -dari sudut pargamatis- seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik”.
            Pendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia dan dianggap sebagai bagian dari proses sosial. Jargon yang menyatakan bahwa sarjana merupakan agent of change merupakan simbol yang selalu terdengar akrab dalam dunia pendidikan.  Hanya saja suatu perubahan itu terjadi ke arah mana, maka itu sangat ditentukan oleh model sistem pendidikan apa yang digunakan dan berlandasakan kepada ideologi apa dasar pendidikan itu dibangun. Suatu sistem pendidikan yang ditegakkan berdasarkan ideologi sekularistik-kapitalistik atau sosialisme-komunisme maka struktur dan mekanisme masyarakat yang akan diwujudkannya adalah masyarakat sekuler-kapitalis atau sosialis-komunis. Demikian pula Islam sebagai suatu sistem dan ideologi akan membangun  suatu struktur masyarakat yang sesuai dengan cita-cita ideologinya yang tentu saja akan berbeda dengan dua sistem ideologi di atas. Melalui karakteristik ideologi tersebut suatu masyarakat secara pasti akan diketahui jejak-langkah sistem pendidikan yang tengah berlangsung.
Berkenaan dengan hal itu, tentu saja ini merupakan langkah awal  dan mendasar  jika ingin membicarakan masalah pendidikan. Ketidakfahaman terhadap tujuan suatu sistem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error dan menjadikan peserta didik bagai kelinci percobaan. Masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai sekularistik-materialistik misalnya, hanya akan menghasilkan sumber daya manusia (peserta didik) yang berfikir profit oriented dan akan menjadi economic animal. Di samping itu akan terjadi kebingungan dalam mempertautkan agama (dan pendidikan agama) dengan pendidikan umum secara wajar. Bagaimana  melakukan sinkronisasi antara pelajaran agama dengan fisika, yaitu berkenaan dengan penjelasan teori kekekalan massa dan energi misalnya. Begitu pula mengaitkan persoalan teori evolusi Darwin yang menegasikan kemahaakuasaan dan menyatakan manusia merupakan proses evolusi dengan agama pada sisi lain yang mengajarkan keyakinan berbeda. Akan tercipta kegamangan bahkan ketidakjelasan sudut pandang bagi peserta didik dan termasuk tenaga pendidiknya. Bukankah ini merupakan hal yang ironis.
Pendidikan dalam Islam dapat (harus) kita fahami sebagai upaya mengubah manusia dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka nilai/ideologi tertentu (Islam). Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaannya dan mengembangkan kemampuannya yang dipandu ideologi/aqidah Islam. Inilah paradigma dasar itu. Berkaitan dengan itu pula secara pasti tujuan  pendidikan Islam dapat ditentukan, yaitu menciptakan SDM yang berkepribadian Islami, dalam arti cara berfikirnya berdasarkan nilai Islam dan berjiwa sesuai dengan ruh dan nafas Islam. Begitu pula, metode pendidikan dan pengajarannya dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata melakukan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak.
Dalam kerangka ini maka diperlukan monitoring yang intensif oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk pemerintah (negara) terhadap perilaku peserta didik, sejauh mana mereka terikat dengan konsepsi-konsepsi Islam berkenaan dengan kehidupan dan nilai-nilainya (aqidah). Rangkaian selanjutnya adalah tahap merealisasikannya sehingga dibutuhkan program pendidikan dan kurikulum yang selaras, serasi, berkesinambungan dengan tujuan di atas. Sebagai langkah awal diperlukan pemahaman tentang dasar-dasar pribadi/individu dan tahap kejiwaannya.
            Kurikulum dibangun pada landasan aqidah Islam sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras  dengan asas itu. Konsekuensi terhadap hal itu waktu pelajaran untuk pemahaman tsaqafah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang  besar . Mengingat hal ini  dilakukan dalam rangka membangun kerangka pemahaman manusia, tentu saja harus disesuaikan dengan waktu bagi ilmu-ilmu lainnya. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal). Di tingkat perguruan tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Misalnya,  tentang ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme dapat disampaikan untuk diperkenalkan kepada kaum muslimin setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan difahami mengenai cacat-celanya, dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
            Pada jenjang PT tentu saja dibuka berbagai jurusan, baik dalam cabang ilmu keislaman, ataupun jurusan lainnya, seperti teknik, kedokteran, kimia, fisika, sastra, politik dll. sehingga peserta didik dapat memilih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Dari model sistem pendidikan Islam seperti inilah maka kekhawatiran akan munculnya dikotomi ilmu agama dan ilmu duniawi tidak akan terjadi. Dikotomi ilmu itu hanya terjadi pada masyarakat sekuler-kapitalistik, tidak dalam masyarakat Islam. Berkenaan dengan hal inilah generasi yang akan dibentuk adalah SDM yang mumpuni dalam bidang ilmunya dan sekaligus dia memahami nilai-nilai Islam, serta berkepribadian Islam yang utuh. Tidak akan terjadi pemisahan yang berarti antara ilmu agama dan ilmu duniawi. Sebab dipahami bahwa semua ilmu adalah milik Allah dan kita wajib mengamalkan sesuai dengan syariat Islam.
            Beberapa paradigma dasar bagi sistem pendidikan dalam kerangka Islam:
 1.  Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan aqidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya manusia terdidik dengan aqliyah Islamiyah (pola berfikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola sikap yang islami).
 2.  Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal salehdan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula bahwa di dalam Islam yang menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi kualitas pendidikan. Perhatikan bagaimana Al Quran mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan shalihan (amal yang terbaik atau amal shaleh).
 3.  Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan  dan mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisir aspek yang buruknya.
 4.  Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. Al quran mengungkapkan bahwa “Sungguh pada diri Rasul itu terdapat uswah  (teladan) yang terbaik bagi orang-orang yang berharap bertemu dengan Allah dan hari akhirat”.

Adapun strategi dan arah perkembangan ilmu pengetahuan  dapat kita lihat pula dalam kerangka berikut ini:
 1.  Tujuan utama ilmu yang dikuasai manusia adalah dalam rangka untuk mengenal Allah swt. sebagai Al Khaliq, menyaksikan kehadirannya dalam berbagai fenomena yang diamati, dan mengangungkan Allah swt, serta mensyukuri atas seluruh nikmat yang telah diberikanNya.
 2.  Ilmu harus dikembangkan dalam rangka menciptakan manusia yang hanya takut kepada Allah swt. semata sehingga setiap dimensi kebenaran dapat ditegakkan terhadap siapapun juga tanpa pandang bulu.
 3.  Ilmu yang dipelajari berusaha untuk menemukan keteraturan sistem, hubungan kausalitas, dan tujuan alam semesta.
 4.  Ilmu dikembangkan dalam rangka mengambil manfaat dalam rangka ibadah kepada Allah swt., sebab Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang, dan segala hal yang terdapat di langit atau di bumi untuk kemaslahatan umat manusia.
 5.  Ilmu dikembangkan dan teknologi yang diciptakan tidak ditujukan  dalam rangka menimbulkan kerusakan di muka bumi atau pada diri manusia itu sendiri.
Dengan demikian, agama dan aspek pendidikan menjadi satu titik yang sangat penting, terutama untuk menciptakan SDM (Human Resources) yang handal dan sekaligus memiliki komitmen yang tinggi dengan nilai keagamaannya. Di samping itu hal yang harus diperhatikan pembentukan SDM berkualitas imani bukan hanya tanggung jawab pendidik semata, tetapi juga para pembuat keputusan politik, ekonomi, dan hukum sangat menentukan. Perlu dicatat bahwa akar KKN terjadi adalah akhlaq/perilaku manusianya yang teralienasi dengan ajaran agamanya. Revolusi terhadap perilaku manusia merupakan basis dari gerakan pembaharuan yang benar. Oleh sebab itu sangat diperlukan  co-responsible for finding solutions. Untuk melakukan revolusi tersebut maka musti diawali dengan revolusi pemikiran  (Taghyiir al Afkaar) dan pemahaman manusia terhadap Islam.

Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan merupakan suatu kondisi yang menjadi target penyampaian pengetahuan. Tujuan ini merupakan acuan dan panduan untuk seluruh kegiatan yang terdapat dalam sistem pendidikan. Jadi, tujuan pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki:

 1.  Kepribadian Islam
Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim, yaitu teguhnya dalam memegang identitas kemuslimannya dalam pergaulan sehari-hari. Identitas itu tampak pada dua aspek yang fundamental, yaitu pola berfikirnya (aqliyah) dan pola sikapnya (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah Islam. Berkaitan dengan pengembangan keperibadian dalam Islam ini, paling tidak terdapat tiga langkah upaya pembentukannya sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu (1) menanamkan aqidah Islam kepada seorang manusia dengan cara yang sesuai dengan kategori aqidah tersebut, yaitu sebagai aqidah aqliyah; aqidah yang keyakinannya muncul dari proses pemikiran yang mendalam. (2) mengajaknya untuk senantiasa konsisten dan istiqamah agar cara berfikir dan mengatur kecenderungan insaninya berada tetap di atas pondasi aqidah yang diyakininya. (3) mengembangkan kepribadian  dengan senantiasa mengajak bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan tsaqafah Islamiyah dan mengamalkan perbuatan yang selalu berorientasi pada melaksanakan ketaatan kepada Allah swt.

 2.  Menguasai Tsaqafah Islamiyah dengan handal.
Islam mendorong setiap muslim untuk menjadi manusia yang berilmu dengan cara mewajibkannya untuk menuntut ilmu. Adapun ilmu berdasarkan takaran kewajibannya menurut  Al Ghazali dibagi dalam dua kategori, yaitu (1) ilmu yang fardlu ‘ain, yaitu wajib dipelajari setiap muslim, yaitu ilmu-ilmu tsaqafah Islam yang terdiri konsespsi,ide, dan hukum-hukum Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah nabawiyah, ulumul quran, tahfidzul quran, ulumul hadits, ushul fiqh, dll. (2) ilmu yang dikategorikan fadlu kifayah, biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi, serta ilmu terapan-ketrampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll. Berkaitan dnegan tsaqafah Islam, terutama bahasa Arab, Rasulullah saw. telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan dan urusan penting lainnya, seperti bahasa diplomatik dan interaksi antarnegara. Dengan demikian, setiap muslim yang bukan Arab diharuskan untuk mempelajarinya. Berkaitan dengan hal ini karena keterkaitan bahasa Arab dengan bahasa Al Quran dan As Sunnah, serta wacana keilmuan Islam lainnya..

 3.  Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK).
Menguasai PITEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullahi di muka bumi dnegan baik. Islam menetapkan penguasaan sain sebagai fardlu kifayah, yaitu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat apabila ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Pada hakekatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua hal, yaitu pengetahuan yang mengembangkan akal manusia, sehingga ia dapat menentukan suatu tindakan tertentu dan pengetahuan mengenai perbuatan itu sendiri. Berkaitan dnegan akal, Allah swt. telah memuliakan manusia dnegan akalnya. Akal merupakan faktor penentu yang melebihkan manusia dari makhluk lainnya, sehingga kedudukan akal merupakan sesuatu yang berharga. Allah menurunkan Al Quran dan mengutus RasulNya dengan membawa Islam agar beliau menuntun akal manusia dan membimbingnya ke jalan yang benar. Pada sisi yang lain Islam memicu akal untuk dapat menguasai PITEK, sebab dorongan dan perintah untuk maju merupakan buah dari keimanan. Dalam kitab Fathul Kabir, juz III, misalnya diketahui bahwa  Rsulullah saw. pernah mengutus dua orang sahabatnya ke negeri Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata muktahir, terutam  alat perang yang bernama dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasulullah saw. memahami manfaat alat ini bagi peperangan melawan musuh dan menghancurkan benteng lawan.

 4.  memiliki skills/ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
     Perhatian besar Islam pada ilmu teknik dan praktis, serta ketrampilan merupakan salah satu dari tujuan pendidikan islam. Penguasaan ketrampilan yang serba material ini merupakan tuntutan yang harus dilakukan umat Ilam dalam rangka pelaksanaan amanah Allah Swt. Hal ini diindikasikan dengan terdapatnya banyak nash yang mengisyaratkan kebolehan mempelajari ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan. Hal ini dihukumi sebagai fardlu kifayah. Penjelasan 3 dan 4 dapat diperhatikan pada pembahasan Ilmu dan kedudukan dalam islam di atas.

Gambaran Umum Sistem Pendidikan Islam
Gambaran umum tentang sistem ppendidikan Islam dapat kita perhatikan pada beberapa aspek berikut ini:
1. Kurikulum dalam sistem pendidikan Islam harus berdasarkan pada asas aqidah Islam. Dengan demikian, seluruh bahan ajar dan metode pengajarannya diselaraskan dengan asas aqidah Islam tersebut.
 2.  Kebijakan sistem pendidikan Islam adalah dalam rangka untuk mebentuk aqliyah Islamiyah dan nafsiyah Islamiyah.
3. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam bagi seluruh anggota masyarakat sehingga metode pendidikan disusun untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Waktu pelajaran ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab diberikan setiap minggu dan hal ini tentu saja diselaraskan dengan waktu pelajaran pengetahuan yang lain, baik dari sisi lama pelajaran maupun porsi pengajaran.
5. Pengajaran sain dan ilmu terapan harus dibedakan dengan pelajaran tsaqafah. Ilmu terapan diajarkan tanpa mengenal peringkat pendidikan, melainkan mengikuti kebutuhannya, sementara tsaqafah Islam diajarkan pada tingkat sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi dengan rancangan pendidikan yang tidak bertentangan dengan konsepsi dan hukum Islam. Di tingkat PT tsaqafah dapat diajarkan secara utuh, baik tsaqafah Islam maupun yang bukan dengan syarat tidak bertentangan dengan tujuan dan kebijakan  pendidikan.
6. Tsaqafah Islam wajib diajarkan pada semua tingkatan pendidikan. Hanya saja di tingkat PT dapat dibuka berbagai fakultas dengan berbagai cabang ilmu keislaman dan fakultas yang berkaitan dengan sains dan teknologi.
7. Seni dan ketrampilan dapat dikategorikan sebagai sains, seperti perniagaan, pelayaran, dan pertanian. Semuanya mubah dipelajari tanpa terikat dengan batasan atau syarat tertentu. Hanya saja dari sisi yang lain dapat juga dimasukkan ke dalam tsaqafah, jika di dalamnya terdapat pengaruh dari pandangan hidup atau ideologi tertentu, seperti seni lukis, ukir, dan patung, atau pahat. Yang terakhir tentu saja tidak boleh untuk dipelajari.
 8.  Program pendidikan harus seragam dan ditetapkan oleh negara. Tidak terdapat larangan untuk mendirikan sekolah swasta sepanjang kurikulumnya tetap mengacu pada kebijakan pendidikan dan kurikulum yang telah ditetapkan negara. Hanya saja sekolah tersebut bukan sekolah asing.
 9.  Mengajarkan masalah yang diperlukan bagi manusia dalam kehidupannya dan program wajib belajar ini berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, baik laki-laki mapun perempuan. Negara berkewajiban untuk menjamin pendidikan bagi seluruh warga negara secara gratis. Masyarakat diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat pendidikan tinggi secara gratis pula. Begitu pula yang berkeinginan melakukan penelitian dalam berbagai ilmu pengetahuan dan tsaqafah, seperti fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir atau bidang ideologi, teologi, kedokteran, kimia, fisika, biologi dll., sehingga negara akan dapat melahirkan sejumlah mujtahid dan para saintis.
 10.  Negara berkewajiban menyediakan perpustakaan dan kelengkapan bagi sarana belajar-mengajar secara baik, di samping tentu saja sekolah dan PT. Termasuk laboratorium, perpustakaan, buku, dll yang dimungkinkan dapat diperoleh secara mudah oleh masyarakat
 11.  Negara tidak diperbolehkan memberikan hak istimewa dalam mengarang buku-buku bagi pendidikan untuk semua tingkatan. Seseorang baik pengarang atau bukan tidak boleh memiliki hak cipta atau hak terbit, jika sebuah buku telah dicetak dan diterbitkan. Hanya saja jika masih dalam bentuk pemikiran yang dimiliki seseorang dan belum dicetak ataupun diedarkan maka seseorang boleh memperoleh imbalan atauapun bayaran, sebagaimana layaknya bayaran untuk orang yang mengajarkan ilmu.
 Negara Sebagai Penyelenggara Pendidikan
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problematika yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan keadaan fitrah manusia, termasuk perkara pendidikan. Dalam Islam, Negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah saw. memerintahkan dalam haditsnya: “Seorang Imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
            Perhatian Rasulullah  saw. terhadap dunia pendidikan tampak  ketika beliau saw. menetapkan agar para tawanan perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Perkara yang beliau saw. lakukan tersebut adalah kewajiban yang harus dilaksanakan kepala negara. Bertanggung jawab penuh terhadap setiap kebutuhan rakyatnya. Menurut hukum Islam, baranmg tebusan itu merupakan hak Baitul Maal (kas negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan perang Badar. Dengan tindakan yang seperti itu, yaitu membebankan pembebasan tawanan perang badar kepada Baitul maal (kas negara) dengan memerinahkan mereka mengajarkan baca tulis, berarti Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan. Dengan kata lain, beliau memberi upah kepada para pengajar itu (tawanan perang) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik kas negara.
            Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah)  berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam maka kita akan melihat perhatian para khalifah (kepala negara) terhadap pendidikan rakyatnya sangat besar demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Banyak hadits Rasul yang menjelaskan perkara ini, di antaranya: “Barangsiapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (gaji/upah/imbalan), maka apa yang diambil selain dari itu adalah kecurangan” (HR. Abu Daud).
Barangsiapa yang diserahi tugas pekerjaan dalam keadaan tidak memiliki rumah maka hendaklah ia mendapatkan rumah. Jika ia tidak memiliki isteri maka hendaklah ia menikah. Jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mendapatkannya. Bila ia tidak memiliki hewan tunggangan hendaklah ia memilikinya. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu maka ia telah melakukan kecurangan” . Hadits-hadits tersebut memberikan hak kepada pegawai negeri (pejabat pemerintahan) untuk memperoleh gaji dan fasilitas, baik perumahan, isteri, pembantu, ataupun alat transportasi. Semua harus disiapkan oleh negara. Jika kita membayangkan seandainya aturan Islam diterapkan maka tentu saja tenaga pendidik maupun pejabat lain dalam struktur pemerintahan meresa tentram bekerja dan benar-benar melayani kemaslahatan masyarakat tanpa pamrih sebab seluruh kebutuhan hidupnya terjamin dan memuaskan.  Sebagai perbandingan, Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar ( 1 dinar = 4,25 gram emas) (sekitar 5 juta rupiah dengan kurs sekarang). 
Begitu pula ternyata perhatian para kepala negara kaum muslimin (khalifah) bukan hanya tertuju pada gaji para pendidik  dan biaya sekolah, tetapi juga sarana lainnya, seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja’far bin Muhammad (wafat 940M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan kepada para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut Ar Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi masa kekhalifahan Islam abad 10 Masehi. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya. Bagaimana dengan kita ? 
Dana , Sarana, dan Prasana Pendidilkan 
Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah Islam (lihat Al Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas Baitul maal (kas negara). Sistem pendidikan bebas biaya tersebut berdasarkan ijma’ shahabat yang memberi gaji kepada para pendidik dari baitul maal dengan jumlah tertentu. Contoh praktisnya adalah Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan khalifah Al Muntahsir di kota Baghdad. Pada Sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian.
Begitu pula dengan  Madrasah An Nuriah di damaskus yang didirikan pada abad keenam hijriyah oleh khalifah Sultan Nuruddin Muhammad zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain , seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi. Dan jauh sebelumnya Ad Damsyiqi mengisahkan dari Al Wadliyah bin atha’ bahwa khalifah Umar bin Khattab memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah  masing-masing sebesar 15 dinar  emas setiap bulan (1 dinar=4,25 gram emas)
Media pendidikan adalah segala sarana dan prasarana yang digunakan untuk melaksanakan program dan kegiatan pendidikan. Setiap kegiatan pendidikan harus dilengkapi dengan sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta, dan kebutuhan. Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, sekolah/kampus, asrama siswa, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar -audiotorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, majunya sarana-sarana pendidikan dalam kerangka untuk mencerdaskan umat menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Oleh sebab itu keberadaan sarana-sarana berikut  harus disediakan:
 1.  Perpustakaan umum, laboratorium, dan sarana umum lainnya di luar yang dimiliki sekolah dan PT untuk memudahkan para siswa melakukan kegiatan penelitian dalam berbagai bidang ilmu, baik tafsir, hadits, fiqh, kedokteran, pertanian, fisika, matematika, industri, dll. sehingga banya tercipta para ilmuwan dan mujtahid.
 2.  Mendorong pendirian toko-toko buku dan perpustakaan pribadi. Negara juga menyediakan asrama, pelayanan kesehatan siswa, perpustakaan dan laboratorium sekolah, beasiswa bulanan yang mencukupi kebutuhan siswa sehari-hari. Keseluruhan itu dimaksudkan agar perhatian para siswa tercurah pada ilmu pengetahuan yang digelutinya sehingga terdorong untuk mengembangkan kreativitas dan daya ciptanya.
 3.  Negara mendorong para pemilik toko buku untuk memiliki ruangan khusus pengkajian dan diskusi yang dipandu oleh seorang alim/ilmuwan/cendekiawan. Pemilik perpustakaan pribadi didorong memiliki buku-buku terbaru, mengikuti diskusi karya para ulama dan hasil penelitian ilmiah cendekiawan.
 4.   Sarana pendidikan lain, seperti radio, televisi, surat kabar, amajalah, dan penerbitan dapat dimanfaatkan siapa saja tanpa musti ada izin negara.
 5.  Negara mengizinkan masyarakatnya untuk menerbitkan buku, surat kabar, majalah, mengudarakan radio dan televisi; walaupun tidak berbahasa Arab, tetapi siaran radio dan televisi negara harus berbahasa Arab.
 6.  Negara melarang jual-beli dan eksport-import buku, majalah, surat kabar yang memuat bacaan dan gambar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Termasuk melarang acara televisi, radio, dan bioskop yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
 7.  Negara berhak menjatuhkan sanksi kepada orang atau sekelompok orang yang mengarang suatu tulisan yang bertentangan dnegan Islam, lalu dimuat di surat kabar dan majalah. Hasil karya penulis dapat dipakai kapan saja dnegan syarat harus bertanggung jawab atas tulisannya dan sesuai dnegan aturan Islam.
 8.  Seluruh surat kabar dan majalah, pemancar radio& televisi  yang sifatnya rutin milik orang asing dilarang beredar dalam wilayah Khilafah Islamiyah. Hanya saja, buku-buku ilmiah yang berasal dari luar negeri dapat beredar setelah diyakini di dalamnya tidak membawa pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam.

Demikian pemaparan sistem pendidikan Islam. Sangat jelas keunggulan sistem pendidikan Islam yang diatur oleh syariat Islam. Dengan bersikap objektif terhadap syariat Islam, seharusnya manusia yang jujur, berpikir, dan yang memiliki nurani yang jernih, akan kembali ke syariat Islam.