Showing posts with label Ideologi. Show all posts
Showing posts with label Ideologi. Show all posts
Ketika anda berbicara dengan orang-orang yang lantang menyuarakan anti TBC (tawassul, bid'ah dan khurafat), anda akan mendengar pengakuan mereka, "Kami ahli hadits". Ketika anda berbicara dengan orang-orang yang anti madzhab dan menolak bermadzhab dengan salah satu madzhab fiqih yang empat, anda akan mendengar pengakuan mereka, "Kami pengikut ahli hadits". Ketika anda berbicara dengan mereka yang anti hadits dha'if, anda akan mendengar pengakuan mereka, "Kami ahli hadits".

Ketika anda mendengar orang-orang yang sok mujtahid dan meremehkan para ulama, anda akan mendengar pengakuan mereka, "Kami pengikut ahli hadits". Nama ahli hadits seakan menjadi primadona yang diperebutkan, oleh orang-orang yang tidak mengikuti Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Siapa sebenarnya ahli hadits itu?
Ahli hadits sebagai pembawa hadits-hadits Nabi saw dan atsar ulama salaf yang saleh, tentu memiliki posisi penting di hati sanubari kaum Muslimin. Dukungan ahli hadits terhadap suatu madzhab akan menjadi modal utama bagi suksesnya madzhab tersebut tersosialisasi, mengakar dan membumi di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karena itu, ketika Dinasti Abbasi bermaksud mensosialisasikan faham Mu'tazilah di kalangan umat akar rumput, Dinasti Abbasi memaksa ahli hadits agar mengakui dan melegitimasi faham tersebut dengan cara intimidasi, hukuman penjara, penyiksaan dan eksekusi terhadap ahli hadits yang menolaknya, sehingga lahirlah tragedi sejarah yang disebut dengan mihnah al-Qur'an (ujian para ulama tentang kemakhlukan al-Qur'an), dengan korban beberapa ulama ahli hadits yang disiksa, dipenjara dan dibunuh. Dinasti Abbasi dan ulama Mu'tazilah menyadari bahwa ideologi mereka tentang kemakhlukan al-Qur'an, tanpa dukungan dan legitimasi ahli hadits, hanya akan menjadi gerakan pemikiran kaum elit yang berada di singgasana langit dan tidak tersentuh kehidupan bumi, menikmati prestise, popularitas dan privilege.

Namun demikian, di sini ada suatu hal yang lepas dari perhatian kebanyakan orang, bahwa ahli hadits sebenarnya tidak memiliki madzhab tertentu yang menyatukan paradigma mereka, baik dalam hal fiqih maupun dalam hal akidah. Kitab-kitab tentang rijal al-hadits dan biografi ahli hadits seperti Tahdzib al-Kamal, Tadzkirat al-Huffazh, Lisan al-Mizan dan lain-lain, menyebutkan dengan gamblang bahwa di antara perawi hadits ada yang mengikuti madzhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hanbali dan madzhab-madzhab fiqih yang lain.

Dalam bidang akidah, di antara ahli hadits ada yang mengikuti aliran Syiah, Khawarij, Mu'tazilah, Mujassimah, madzhab al-Asyari, al-Maturidi dan aliran-aliran pemikiran yang lain. Di antara mereka ada juga yang mengikuti ideologi yang diaktualisasikan oleh Ibn Taimiyah yang diambilnya dari minoritas ahli hadits dan diklaimnya sebagai madzhab salaf dan Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Tentu saja, motivasi mereka mengklaim pandangannya sebagai madzhab salaf dan ahli hadits, karena posisi hadits Nabi saw dan posisi salaf yang saleh yang sangat penting di tengah-tengah kaum Sunni.


Setiap golongan mengklaim dirinya sebagai pengikut ahli hadits dan salaf yang saleh, dan memvonis pihak lain telah menyimpang dari mainstream ahli hadits dan salaf.Dari sini, dapat difahami bahwa pernyataan kelompok-kelompok yang anti madzhab, yang mengklaim dirinya sebagai pengikut ahli hadits, sedangkan kelompok lain yang bermadzhab, baik dalam hal akidah maupun dalam hal fiqih, dianggapnya sebagai pengikut ahli bid'ah dan keluar dari madzhab ahli hadits, tidak dapat dibenarkan, karena berdasarkan realita yang ada, ahli hadits sendiri tidak memiliki madzhab tertentu yang menyatukan paradigma mereka, baik dalam hal fiqih maupun dalam hal akidah. Justru dalam realita yang ada, mayoritas ahli hadits dalam hal fiqih mengikuti salah satu madzhab yang empat dan dalam hal akidah mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Bahkan tidak sedikit pula di antara ahli hadits yang mengikuti ajaran kaum shufi sebagaimana dapat dibaca dalam banyak literatur seputar biografi dan sejarah ahli hadits. Hal ini seperti dapat dilihat misalnya dalam kitab Hilyah al-Auliya', karya al-Hafizh Abu Nu'aim al-Ashfihani, seorang ulama shufi yang pakar hadits terkemuka pada masanya.

Sebagai catatan akhir, di antara ahli hadits yang mengikuti madzhab al-Syafi'i adalah al-Imam al-Bukhari, Muslim, al-Nasa'i, Ibn Khuzaimah, al-Ajurri, al-Daraquthni, al-Lalikai, al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Nu'aim, al-Sam'ani, Ibn Asakir, Ibn al-Shalah, al-Nawawi, al-Mizzi, al-Dzahabi, Ibn Katsir, al-Alai, al-Iraqi, Ibn Hajar, al-Sakhawi, al-Suyuthi dan lain-lain.

Mayoritas ahli hadits mengakui adanya bid'ah hasanah, menerima hadits dha'if dalam amal-amal yang utama, meyakini barokah para wali dan orang saleh, menganjurkan ziarah ke makam para wali dan orang saleh, membolehkan bertawassul dengan para nabi dan wali, mengikuti tarekat-tarekat shufi, membolehkan maulid nabi, meyakini sampainya pahala yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia, dan atribut-atribut Ahlussunnah Wal-Jama'ah lainnya. Hal ini sebenarnya merupakan hal yang aksioma, mudah dibaca dalam literatur sejarah dan biografi pada ulama. Wallahul muwaffiq. Sumber aswaja-nu.com

A. PENDAHULUAN

Suatu hal yang perlu mendapat catatan dalam dunia pepolitikan Nabi Muhammad SAW dalam praktiknya baik mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin Negara Madinah merupakan sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah penting.Namun satu hal lagi mengenai Piagam Madinah yang menjadi sebuah kostitusi di era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan agama negara.
Dengan berbagai macam pikiran politik yang akan dibahas kali ini sekiranya kita dapat mengetahui beberapa pandangan – pandangan masing – masing kelompok sehingga dapat menemukan apa inti dari pemikiran berbagai kelompok ini.

B. PEMBAHASAN
PEMIKIRAN POLITIK SUNNI

Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa.Pemikiran – pemikiran dari ahli – ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan , namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.

Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin.Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat. Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu

Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.(QS.Al – An’am, 6:165).

Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).
Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi – Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran – ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.
Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.
Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.

PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini.Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam , selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali , para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah , yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah , dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at – Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.

Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam:
1. Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
3. Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan syari’at.
4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi.Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi.
Iqbal menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama, imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang ide.Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah).
Sebelum membahs lebih lanjut sebaiknya mengetahui nama – nama masing imam dalam tubuh Syi’ah:
1. Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.
2. Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
3. Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al – Kadzim, Ali al – Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al – Askari, Muhammad al – Mahdi.
Untuk memperjelas paham syi’ah ini perlu dikethui ad beberapa paham yang berkembang diklangan mereka dan mengalami perbedaan – perbedaan, an untuk mempermudah alam permahaman kelompok atau sekte dalam tubuh Syi’ah ini dapat kita lihat di bagan berikut:

PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ

Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok.
Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran – aliran Khawarij.
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian klompok ini.

PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa dalam referensi lain disebutkan orang yang berbuat dosa besar. Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.
Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.
Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.

C. PENUTUP
Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
Dengan mengetahui pemikiran politik masing – masing golongan ini semoga kita paham apa arti sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan – perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Persada, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.
Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Januari 1999, jilid keenam.
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan kedua.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996, cetakan kesatu.s

MAKALAH FIQH SIYASAH

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

DOSEN PEMBIMBING

DRS. WAHYU PURWOWITANTO

DISUSUN OLEH
ACHMAD NAUFA KHOIRUL FAIZUN
MUHAMMAD GIE YONO

FAKULTAS SYARIAH JURUSAN MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI (STAIAN) PURWOREJO
TAHUN AJARAN 2008-2009

Ada sebuah artikel yang sangat menarik, Islamic Culture and Democracy: Testing the ‘Clash of Civilizations’ Thesis, karya Pippa Norris (John F Kennedy School of Government, Harvard University) dan Ronald Inglehart (Institue of Social Research, University of Michigan). Tulisan ini dimuat dalam jurnal ilmiah Comparative Sociology (Vol. 1, No 3-4, 2002), dan merupakan hasil penelitian empiris yang dilakukan secara masif: melibatkan ¼ juta responden di 75 negara di lima benua, dalam kurun enam tahun (1996-2001). Metodenya mereka sebut sebagai World Values Survey/European Values Survey (WVS/EVS).
Sesuai dengan judulnya penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan bukti lapangan akan tesis Samuel P Huntington (1996) tentang ’benturan peradaban’ yang kontroversial itu. Pada intinya Huntington mengatakan bahwa, selain jurang sosial (kaya dan miskin), ada jurang kultural di antara berbagai paradaban yang berbeda-beda di dunia ini. Selanjutnya ia mengatakan jurang kultural terbesar saat ini adalah agama, dan yang paling tajam adalah antara ’peradaban Barat’ sebagai warisan Kristen dan ’peradaban Islam’. Secara khusus, menurut Huntington, titik api perbedaan keduanya ada pada kultur politik, yakni penerimaan atas mesin politik demokrasi. Pada isu politik inilah, dalam interpretasi yang simplistis, potensi benturan peradaban akan terjadi antara ’Barat Kristen’ dan ’Islam’.
Norris dan Inglehart rupanya tidak menerima tesis Huntington begitu saja. Tentunya, sebuah hasil penelitian memberikan implikasi luas, termasuk dalam kebijakan politik kongkrit. Dalam kenyataannya pengaruh tulisan Huntington begitu besar. Dengan interpretasi politis simplistis di atas lahirlah program masif di seluruh dunia non-Barat: demokratisasi. Demi ’memperkecil jurang perbedaan’ dan ’mencegah benturan peradabaan’ program ini dilakukan, tentu saja, oleh negara Barat dengan dana yang luar biasa besarnya. Tujuannya untuk menyeragamkan seluruh sistem politik di dunia ini menjadi hanya satu, demokrasi, yang lain dianggap tirani.
Gelombang demokratisasi, boleh dikatakan, merupakan tema besar program politik Barat di seluruh dunia (khususnya di negeri-negeri Islam, Eropa Timur bekas Komunis-Sosialis), dalam dua dekade terakhir. Isu-isu hak asasi manusia, kebebasan berkespresi, liberalisasi politik, perkembangan masyarakat sipil (civil society), indoktrinasi politik pada warga negara lokal, dilaksanakan di semua lini. Semua bantuan asing, bahkan utang luar negeri dari rentenir seperti Bank Dunia dan IMF, pun ditujukan untuk program ’cuci otak, tangan dan kaki’ massal ini. Memang, tesis Huntington bukannya sama sekali tidak ada dukungan ’bukti ilmiah’. Survei Freedom House, sebuah organisasi yang tentu saja mendukung nilai-nilai liberal sesuai namanya, misalnya, menunjukkan dari tahun ke tahun negara-negara dengan mayoritas Muslim, adalah yang paling tidak atau kurang demokratis.
Norris dan Inglehart datang dengan keraguan: benarkah tesis Huntington ini, dan tepatkah ’terapi politik’ yang diberikan atas dasar tesis tersebut? Keduanya menelusuri agak lebih dalam tentang akar perbedaan kedua peradaban di atas yang dicarinya dari sumbernya, yakni proses modernisasi. Ini adalah tema besar sebelum demokratisasi yang diusung Barat ke Timur pasca Perang Dunia II sampai tahun 1980an. Ada perubahan atas dua nilai utama, menurut Norris dan Ingelhart, yang dibawa bersama modernisasi, atau kongrkitnya industrialisasi yang sesungguhnya adalah penerapan kapitalisme itu. Dua nilai utama itu adalah peran wanita dan kebebasan seks. Kapitalisme yang didasarkan pada nilai-nilai materialis, rasional, sekuler, yang dibungkus sebagai modernisasi itu, memang harus ditopang oleh permisifisme.
Dengan sendirinya, nilai-nilai agama, dianggap sebagai penghambat kapitalisme. Tapi, karena tidak mungkin menghapuskan agama-agama, maka yang dilakukan adalah mereformasi doktrin-doktrinya. Sasaran pertama, tentu saja, adalah agama yang dominan di Eropa saat itu. Datanglah ’reformasi katolisisme’ dalam dua ratus tahun pertama sejak lahirnya kapitalisme, dan sukses, dengan munculnya protestanisme yang mendukung kapitalisme. Giliran berikutnya, dalam satu abad terakhir ini, pembaruan Islam dilakukan dengan masif untuk melahirkan ’protestanisme Islam’, dan cukup sukses: mayoritas Muslim telah menerima riba (jantung kapitalisme) secara total dalam perbankan (Islam), dan, sebagaimana juga terbukti dari Norris dan Inglehart, mesin demokrasi dalam politik.
Kita kembali ke Norris dan Inglehart. Untuk mencari bukti-bukti yang lebih kongkrit, tentu dengan harapan bisa menghasilkan resep yang lebih cespleng, sebagai ’terapi kultural’ dari budaya dominan (Barat) kepada budaya pinggiran (Islam), mereka mengkontraskan sejumlah nilai-nilai budaya untuk dites di keduanya. Secara umum bukti ilmiah dari mereka adalah, seperti kata tesis Huntington, budaya memang berperan penting dalam peradaban, tapi sangat berbeda dalam empat kesimpulan.
Pertama, praktis tidak ada perbedaan dalam perilaku politik (khususnya dalan kaitan dengan nilai dan praktek demokrasi) antara dua peradaban di atas. Kedua, ’benturan demokrasi’ kalaupun dapat disebut demikian, sangat potensial terjadi antara Barat dan Eropa Timur bekas Komunis, sebagai warisan Perang Dingin. Ketiga, dukungan masyarakat atas otoritas agama lebih kuat pada masyarakat Islam dibanding di Barat. Keempat, ada jurang budaya– yang diabaikan Huntington – justru sangat lebar antara Barat dan Islam: dalam nilai persamaan jender dan kebebasan seks. Jurang ini, bukan cuma lebar, tapi terus melebar, karena generasi muda di Barat secara seksual sudah semakin bebas, sementara generasi muda Islam masih sama kolotnya dengan generasi orang tuanya. Ini, kata Norris dan Inglehart, berkat sukses ’revolusi seks’ yang dilakukan di Barat sejak 1960an.
Jadi? Para profesor kita tidak secara eksplisit memberi resep. Mereka hanya mengatakan ‘segala klaim yang mengatakan bahwa ’’benturan peradaban’’ disebabkan oleh jurang nilai politik antara Barat dan Islam adalah keblinger; yang lebih didukung bukti ilmiah adalah karena perbedaan pandangan atas kebebasan seks’. Setelah ada konklusi ilmiah dari para pakar begini, para pengambil kebijakanlah yang lantas memberikan interpretasi dan mengambil tindakan politik. Tapi siapa yang tidak dapat menebak interpretasi yang mungkin muncul dari diagnosa pakar Harvard University dan University of Michigan ini? Demokratisasi massal telah usai, pornografisasi massal (’revolusi seks’) harus dimulai.Herankah kita pronografi makin marak saja hari-hari ini?
*)Artikel ini pernah dimuat di Republika, 27 Februari 2006