Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts
Ust. Arif Syarifuddin
Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar(senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullahshollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitabAl-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamahkepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikaptasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikaptasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yuTetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhajas-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun.Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
  1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
  2. Siyar A‘lam an-Nubala’
  3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon
(Sumber: Majalah Fatawa; dinukil dari muslim.or.id) link ummusalma.wordpress.org

Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc

Ihsan dan itqan adalah dua istilah yang terdapat dalam Alquran dan sunah yang berkaitan dengan amal perbuatan seorang Muslim yang harus dilakukannya dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini. Ihsan berarti optimalisasi dalam kebaikan. Artinya, kebaikan apa pun yang dilakukan seorang Muslim harus selalu optimal dalam persiapan dan pelaksanaannya, agar hasilnya didapat secara optimal pula.

Allah SWT berfirman dalam QS al-Mulk [67]: 2: "(Dia) Yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (optimal). Dan, Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun."

Jika seorang Muslim sedang melakukan ibadah maka dipersiapkan dan dilakukan dengan baik, baik ilmu pengetahuan yang berkaitan dengannya maupun teknis pelaksanaannya. Ketika melaksanakan ibadah haji, misalnya, ilmunya dipersiapkan, tata cara pelaksanaannya disempurnakan, juga menjaga kesehatan jasmani rohani, sehingga betul-betul predikat haji mabrur dapat diraih, termasuk menjaga dan mempertahankannya ketika ia sudah kembali ke kampung halamannya.

Seorang Muslim yang sedang mendapatkan amanah jabatan publik di wilayah eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, ia penuhi amanah tersebut dengan semaksimal mungkin agar betul-betul mampu mempersembahkan yang terbaik bagi kepentingan masyarakat dan bangsa di wilayah pekerjaannya tersebut. Amanah dan profesionalitas merupakan ciri utama dari pejabat Muslim tersebut. Karena disadarinya, semuanya akan dipertanggungjawabkan kepada konstituennya di dunia ini dan terutama kepada Allah SWT kelak kemudian hari, dan selalu berusaha menjauhi sifat khianat.

Allah SWT berfirman dalam QS al-Anfal [8]: 27: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui."

Sedangkan, itqan berarti kesungguhan dan kemantapan dalam melaksanakan suatu tugas, sehingga dikerjakannya secara maksimal, tidak asal-asalan, sampai dengan pekerjaan tersebut tuntas dan selesai dengan baik. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melaksanakan suatu pekerjaan, maka pekerjaaan tersebut dilakukannya dengan itqan." (HR Thabrani).

Karena itu, ihsan dan itqan harus selalu menjadi ruh dan spirit bagi setiap Muslim dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya, baik yang berhubungan dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia, sehingga pekerjaannya itu akan selalu bernilai ibadah dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Wallahu a'lam.
Redaktur: Siwi Tri Puji B  www.republika.co.id
Oleh: Ust. Abu Bakar Ba’asyir
  “ Zaman sekarang, kita benar-benar terjebak dalam krisis amal jama’i.  Betapa susahnya menemukan mereka yang mendapatkan barokah dengan bersikap tenang dalam ketaatan terhadap Amir, serius dan tanpa banyak bicara, tetap teguh pada tugas yang telah diprogramkan.  Bersikap waspada, banyak diam, sembari terus berlatih dan tidak terpengaruh situasi global hingga tujuan mereka tercapai.  Sikap semacam inilah yang seharusnya dimiliki para mujahid dan ahluddin hari ini”. (Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisy)
Dalam sebuah ayat Allah berfirman:
 “ Sesungguhnya, Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. “ (Ash Shaff: 4)
Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan pentingnya pasukan jihad yang teratur dan terkendali.  Dalam berbagai kitab tafsir disebutkan bahwa arti penting pasukan jihad yang terkoordinasi dengan baik terbagi dalam dua aspek;
Pertama         : Adanya dalil-dalil dari nash syar’i itu sendiri
Kedua            : Tuntutan kondisi kaum muslimin yang mengharuskan untuk mengambil sebab datangnya pertolongan Allah, yakni kekuatan, kekokohan dan keteguhan.
Aspek kedua muncul karena hari ini musuh umat Islam -baik itu Negara atau organisasi- telah berupaya maksimal dalam menghadapi kaum muslimin.  Mereka benar-benar membekali diri dengan kekuatan yang terorganisir dan terprogram, baik dari segi persenjataan, media, kekuatan personal dan sebagainya.
Sebaliknya, tidak sedikit kaum muslimin justru bersikap ceroboh ketika menghadapi musuh.  Hal ini sangat tampak ketika mereka hanya menggunakan bekal yang begitu terbatas, persiapan yang lemah dan penuh dengan ketergesaan, gerakan yang terpecah belah dan sendiri-sendiri, yang berakhir dengan terjadinya fitnah dan kerusakan yang dahsyat yang antara lain berupa hilangnya kebenaran dalam kehidupan masyarakat.
Mengapa demikian? Karena kecerobohan dalam berbagai aksi jihad yang dilakukan justru memberi kesempatan bagi thaghut untuk menghinakan Syari’at Islam dan menghapuskan jihad dari otak – benak kaum muslimin, dengan cara menangkapi para aktivisnya, memberikan citra buruk terhadap jihad dan mujahidin serta mengumumkan bahwa Islam adalah agama teror yang hina.
Allah berfirman:
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfal: 73)

Jihad adalah Amal Jama’i
Meskipun jihad seorang diri termasuk jihad yang dibenarkan dan dapat mengantarkan pelakunya kepada mati syahid, tapi bukan berarti kita lantas mengabaikan manajemen sebuah peperangan yang telah dikendalikan oleh sebuah jama’ah.
Adapun alasan syar’i mengenai hal ini, adalah sebagaimana yang tercantum dalam ayat di atas dan bahwa Allah telah memerintahkan kaum muslimin agar mempersiapkan kekuatan yang benar-benar cukup.  Dalam rangka, memberikan rasa takut pada orang-orang kafir dan murtad.
Allah berfirman:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).(Al Anfal: 60)
Berdasarkan ayat di atas, seluruh kaum muslimin WAJIB menempuh semua sebab-sebab kekuatan dan berusaha keras untuk meraih kemenangan materi dan maknawi, sehingga dapat menakuti musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kaum muslimin baik itu orang-orang kafir maupun munafik.
Adapun metode syar’i untuk meraihnya adalah dengan; Al-Jama’ahSistem Organisasi yang baikPerencanaan yang rapi,Kepemimpinan yang kuat dan Ketaatan syar’i. Kelima unsur tersebut merupakan hal yang sifatnya darurat untuk segera dipenuhi dalam i’dad yang sesuai dengan syar’i.
Rasulullah n bersabda, “Aku memerintahkan kalian dengan lima hal yang Allah telah perintahkan aku dengannya: Mendengar dan Taat, Jihad, Hijrah dan Jama’ah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Demikianlah karakter jama’iyah dari Tha’ifah Manshurah.  Hari ini mereka ada, yaitu mereka yang berjihad di zaman ketika tidak adanya kekhilafahan hingga menjelang kiamat, yakni ketika seluruh nyawa orang mukmin dicabut dengan angin harum dari Yaman.
Sifat tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits seputar keberadaan mereka yang sifatnya mutawatir yang berarti menunjukkan keberadaan mereka dan keberlangsungannya hingga akhir zaman.
Rasulullah n bersabda, "Akan senantiasa ada di antara ummatku suatu kelompok/jama’ah yang tampil membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan (tidak menolong) mereka sehingga datang ketetapan Allah, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian." (HR. Muslim)

Dr. Abdullah Azzam berkata, Jihad adalah Ibadah Jama’iyyah yang tidak akan terlaksana, kecuali dengan adanya jama’ah yang berhadapan dengan masyarakat jahiliyyah atau masyarakat kafir.  Oleh sebab itu jihad tidak akan diwajibkan di Mekah karena lemahnya kaum muslimin, sedikitnya jumlah mereka dan ketidaksanggupan mereka untuk menghadapii jahiliyyah yang mengandalkan kekuatan dan jumlah.
Adapun selama jihad itu merupakan ibadah jama’iyyah, maka yang memegang perkara ini haruslah amirul jama’ah, dan dialah yang mengumumkan jihad. (I’lanul Jihad, Dr. Abdullah Azzam, hlm.8)
Dengan demikian, apakah masuk akal jika thaifah mansurah melaksanakan kewajiban jihad dengan sendiri-sendiri tanpa bentuk jama’ah yang berpijak di atas prinsip As Sam’u wat Tha’ah? Marilah kita simak sejarah Rasulullah n dan para sahabatnya, ketika mereka belum memiliki daulah islam. Apakah mereka bergerak dalam dakwah sendiri-sendiri tanpa adanya jama’ah dan ketaatan pada Rasulullah n, ataukah mereka bergerak dalam jama’ah yang rapi dan ketaatan terhadap Amir?
Rasulullah SAW bersabda, “Hendaknya kalian mengikuti Al Jama’ah dan jauhilah perpecahan, karena sesungguhnya syaithan itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua orang.  Barang siapa yang menginginkan intinya surge hendaknya mengikuti Al Jama’ah” (Hukmul Islam fi Ad Dimuqratiya waa Ta’adudiyyah Al Hizbiyyah: 174)
Setelah menjelaskan tentang salah satu sifat Ath Thaifah Al Manshurah, syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah memberikan peringatan bahwa meskipun jihad fie sabilillah adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim ketika tidak ada khilafah, hendaknya mereka tidak melaksanakannya secara perorangan (individu).
Karena jihad merupakan ibadah jama’I dan akan menimbulkan madharat (bahaya) jika amal jama’i ini dilakukan secara perorangan.  Oleh sebab itu, antar harakah jihadiyah wajib melakukan koordinasi yang sinergis demi melaksanakan kewajiban ini. (Shifatu Ath Tha’ifah Al Manshurah Allati Yujibu An tukatsira Sawadaha Shifat II: Al Jihad Fi Sabilillah)

Tetaplah Bersabar di Jalan Allah
Sesungguhnya, jihad adalah jalan tercepat untuk menuju jannah.  Betapa tidak, rasa takut yang mengguncang dada mujahidin dalam sebuah pertempuran dapat menggugurkan dosanya, juga setetes darah pertama yang menetes ke bumi dari seorang mujahid yang ikhlas dan mengharap agar ia dilihat Allah, benar-benar dapat menghapus segala dosa yang ada padanya tanpa terkecuali.
Namun menunaikan jihad fii sabilillah juga harus memperhatikan konteks riil lapangan dan adanya tingkatan kemampuan sehingga ia betul – betul tegak diatas nilai dan kaedah yang syar’I serta terbebas dari dorongan- dorongan emosi semata – mata . Karena itu Ibnul Qayyimrohimahulloh membuat paling tidak ada 13 langkah dalam 4 bagian besar menuju Jihad yang sesungguhnya .
Dalam meniti hal-hal itu , maka kita wajib bersabar sebagaimana firman Allah:


Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. ( QS Ali Imron : 146 )
Dari ayat yang mulia ini , Alloh Azza wa Jalla memberi kriteria sabar dalam tiga perwujudan yakni :
1.      Tidak lemah mental dalam makna tetap bersemangat.
2.      Tidak lesu yang berarti terus menerus beramal shalih. Sebab kesakitan dan pengorbanan ada nilainya di sisi Allah.
Allah berfirman:
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). jika kamu menderita kesakitan, Maka Sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 104)
3.      Tidak menyerah yang menunjukan keteguhan sikap Mujahid yang hanya bersemboyan hidup mulia atau mati syahid.
Allah berfirman:
Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas, dan Allah pun bersamamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. (Muhammad: 35)
Terkait dengan jihad dalam satu shaf perjuangan yang rapi dan kokoh  maka bagi setiap anggota JAMA’AH ANSHARUT TAUHID, ingatlah bahwa kita tengah beramal jama’i.  Sudah seharusnya, masing-masing kita menepati janji ( mu’ahadah ) yang kita ucapkan dan tidak melanggarnya.
Sudah seharusnya kita menyadari bahwa jika  jihad pada suatu ketika menjadi fardhu ‘ain sedangkan melaksanakan syari’at al jama’ah juga fardhu ‘ain pada setiap masa, sehingga tidak selayaknya kita kemudian membatalkan salah satu diantara keduanya demi melaksanakan jihad secara sendiri-sendiri. Karena sesungguhnya, jihad adalah amal jama’i yang fardhu ‘ain.
Memang ada fenomena aneh yang berkembang, ketika seseorang membolehkan bahkan memprovokasi agar seorang Mujahid tidak perlu mematuhi Amir Jama’ahnya untuk berjihad tapi ia sendiri menuntut untuk dita’ati oleh orang yang diprovokasinya.
Jadi ia menyuruh orang bermaksiat kepada Amir agar tha’at pada kemauannya sendiri. Akhirnya, rusaklah jama’ah yang dimana seseorang telah bermu’ahadah itu, celakanya lagi , orang itu telah merasa beramal sholeh dengan merusak jama’ahnya
Oleh karena itu, kita wajib bersabar dalam jama’ah untuk melaksanakan dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad secara semesta, demi menegakkan Syari’at Islam di bumi Allah.
Wajib atas kita bersabar ketika menghadapi kesempitan yang menghadang, ketika semua manusia memfitnah dan memburuk-burukkan aktifitas memperjuangkan Islam dalam sebuah amal jama’i demi tegaknya Syari’at Islam dengan dakwah dan jihad.
Wajib atas kita untuk bersabar, ketika semua manusia menimpakan penderitaan.  Karena sesungguhnya, tidaklah mereka mampu menimpakan penderitaan kecuali atas izin Allah dan sesungguhnya godaan iblis dan pengikutnya itu sangatlah lemah di hadapan seorang mujahid yang betul-betul beriman.
Juga wajib atas kita nantinya, untuk bersabar dalam pertempuran.  Terutama ketika Allah telah menakdirkan kita terjun di suatu daerah perang dan telah berhadap-hadapan secara langsung dengan musuh, yakni dengan tidak mundur ke belakang.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, Maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka jahannam. dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 15-16)
Maka hendaknya kita mampu bersabar untuk tidak beraksi di daerah aman yang bukan wilayah perang terbuka.
Bersabarlah! Karena sesungguhnya sifat Tha’ifah Al Manshurah adalah bersabar dalam dakwah dan jihad. Sehingga Allah Ta’ala menakdirkan datangnya pertolongan dari sisiNya  kepada kaum muslimin secara keseluruhannya. Insya Alloh berjama’ah dalam ketho’atan jauh lebih barokah dan lebih berpeluang untuk menyongsong Nashrullahu Ta’ala . www.ansharuttauhid.com
" Media massa dan elektronik cenderung tertarik pada peristiwa yang paling dramatis dan sensasional." (Charles Kimball, Guru Besar Studi Islam di Universitas Wake Forest)
 Sejarah akan senantiasa berulang. Paling tidak demikianlah ulasan ahli komunikasi dari Perancis. Sejarah berulang dalam pola yang serupa dan dalam waktu yang berbeda.
 Ketiga kutipan ini, boleh dikatakan sangat tepat untuk menggambarkan hingar bingar dunia modern yang sejak beberapa tahun terakhir, ketika disulut oleh demam "perang global melawan terorisme."
Bahkan, berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi di Indonesia justru memberikan justifikasi kepada POLRI maupun TNI untuk kembali memeragakan pelanggaran HAM, kebebasan dan tindakan represif kepada rakyat sendiri. Pun, bukan karena keempat kasus tersebut menewaskan beberapa warga sipil pribumi.
Hal ini jelas-jelas melanggar amanat Reformasi 1998 yang menitikberatkan pada kebebasan untuk memeluk keyakinan dan tatanan kehidupan bernegara yang jauh dari penindasan state terrorism  (terorisme oleh negara kepada rakyat), sebagaimana yang telah terjadi pada era Orde Baru-Soeharto.
Karena pelanggaran hukum—apapun itu—sudah selayaknya mendapatkan penanganan yang tepat. Seorang tersangka berhak mendapatkan praduga tak bersalah hingga ia dapat dibuktikan kesalahannya di pengadilan. Bukannya di ruang-ruang gelap interogasi dan penyiksaan yang disiapkan oleh para penyidik kepolisian.
Selain itu, penanganan dan penangkapan para tersangka oleh kepolisian, telah semakin jauh dari citra kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat.
Kepolisian yang sebelumnya terkenal dengan pola penangkapan yang senyap, tenang dan hanya menggunakan senjata ringan dan gas air mata, kini telah disibukkan dengan berbagai parade ledakan granat, bom dan senjata berat demi menghabisi tersangka yang jauh dari proses peradilan.
Bahkan, peradilan yang  disajikan di hadapan kita pun tidak lebih dari peradilan opini dan proses main hakim sendiri yang jauh dari fakta-fakta hukum di meja hijau. Anehnya, media massa yang ada justru berlomba-lomba untuk menjadi sarana penguat arus informasi mainstream yang diciptakan oleh kepolisian. Akibatnya, berbagai kasus human error yang terjadi selama pengungkapan kasus terorisme di negara ini nyaris tak terlaporkan.
Satu hal yang perlu kita waspadai adalah adanya upaya pihak asing untuk menunggangi berbagai peristiwa peledakan di negeri ini, yang telah menewaskan putra-putri terbaik umat Islam. Hal ini jelas menjadikan satu hal yang tidak bisa disepelekan, mengingat sejarah umat Islam di Indonesia sangat erat dengan berbagai konspirasi yang justru menjebak putra-putri umat Islam yang ikhlas dalam agama dan amal.
Masih teringat jelas dalam ingatan para aktivis Islam ketika mereka terjebak dalam operasi “Pancing dan Jaring”, yang dilakukan oleh Jenderal Ali Murtopo dan Jenderal Leonardus Benny Moerdani melalui parade kasus-kasus seperti:
1.      Darul Hadits-Islam Jamaah (LDII) pada tahun 1970
2.      Komando Jihad pada tahun 1976-1981
3.      Jamaah Imran pada tahun 1981
4.      Kasus Teror Warman tahun 1982-1984
5.      Pembantaian Tanjung Priok oleh aparat pada 12 September 1984
6.      Peristiwa Talangsari Lampung 1988-1989
Anehnya, seluruh media massa dan elektronik di seluruh penjuru tanah air seakan berlomba-lomba untuk menyajikan bombardemen berita, dengan efek penyebaran ketakutan yang tak kalah mengerikan dibanding aksi-aksi ‘teror’ yang diperagakan oleh aparat saat penangkapan para aktivis muslim tersebut.
Sampai-sampai provokasi media tersebut berujung pada peringatan keras dari PWI dan berbagai forum media watch lainnya.[1] Ironisnya, aneka peringatan tersebut, seolah hanya angin lalu. Tak ada permintaan maaf, tak ada revisi berita dan bahkan tidak ada upaya kantor-kantor berita tersebut untuk kemudian sedikit memperbaiki pemberitaan yang mereka sajikan.

Siapakah yang Diuntungkan Dalam Aksi ‘Teror’ ini?
Jika kita mau sedikit merenungi perkembangan kasus terorisme di tanah air, tentunya kita akan bertemu dengan pertanyaan besar, “Siapakah yang diuntungkan dengan operasi antiteror ini?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali kita akan segera membuat daftar panjang pihak-pihak yang mengambil untung dari peristiwa tersebut. Mulai dari Kepolisian RI yang kemudian menjadi lembaga superbody, sehingga tidak memerlukan lagi proses pengadilan demi mengeksekusi nyawa seseorang yang masih berstatus tersangka, belum berstatus terdakwa, belum pula berstatus terpidana.
Kemudian juga media massa, yang tampak begitu bernafsu demi menaikkan tiras atau pendapatan iklan dari berbagai berita yang mereka sajikan. Tanpa peduli lagi etika-etika jurnalistik yang seharusnya menjadi doktrin asasi para jurnalis di seluruh dunia.
Selain itu, fenomena menarik lainnya adalah masuknya kembali organ-organ TNI dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan warga negara. Dengan diaktifkannya kembali struktur territorial TNI sampai ke tingkat pedesaan (Babinsa).
Tak ayal, keterampilan komando territorial TNI dalam mengolah isu dan menciptakan situasi pra perang (baca: permusuhan) di masyarakat jauh di atas kepolisian. Sehingga muncullah satu realitas yang aneh: “Penghakiman massa atas jasad para tersangka yang belum melalui proses pengadilan tersebut.”
Hal ini muncul dari berbagai tanggapan aneh, seperti penolakan jasad  para tersangka tersebut untuk dimakamkan di daerahnya. Betapa tidak? Jelas-jelas yang datang ke desa atau tempat pemakaman mereka hanyalah jasad tak bernyawa, tetapi masih juga ditolak pemakamannnya . Sungguh, ini adalah suatu sikap yang sangat tidak mencerminkan budaya masyarakat Indonesia yang tepa-salira dan saling memaafkan.
Demikianlah, kita melihat adanya proses adu-domba antar umat Islam. Pada satu sisi, para tersangka tersebut menyatakan menyelamatkan kepentingan umat Islam dengan melawan agen-agen Amerika di Indonesia. Pada sisi yang lain, masyarakat dan sejumlah ‘ulama’ yang termakan propaganda menyatakan menyelamatkan umat Islam dari keyakinan teroris.
Sebuah politik Devide et Impera yang tak bisa ditolak realitanya. Aroma kepentingan asing (baca: Amerika) sebagai pihak yang mendalangi berbagai  peristiwa tersebut pun semakin menyengat, manakala ditemukan sejumlah bukti bahwa tersangka pendana segala aksi teror di Indonesia yang diklaim adalah Warga Negara Arab Saudi yang bernama Al Khaelawi Ali Abdullah alias Al Khalil Ali alias Ali Muhammad ternyata ber-KTP (keluaran 1999) dan berpassport Amerika!
Bahkan, Mr. Ali Mohamed tersebut pun juga dianggap telah melatih sejumlah teroris dan memberikan sejumlah dana mereka untuk melakukan operasi pembunuhan terhadap SBY, peledakan dan berbagai aksi teror lainnya.
Anehnya, sekaligus aneh bin ajaib! Pihak kepolisian, KBRI dan berbagai pihak yang semestinya bertanggung jawab terhadap hal ini, justru tidak memberikan  keterangan yang semestinya. Yang terjadi justru segala informasi ditutup-tutupi, sungguh sangat bertentangan dengan ide-ide transparansi yang menjadi nafas utama Reformasi di Indonesia.
Sandiwara berikutnya pun sudah pasti bisa ditebak, Ali Mohamed akan di cross-check ke Kedutaan Besar AS di Indonesia. Selanjutnya,  di permukaan kedutaan tersebut tidak akan mengakui bahwa Ali Mohamed adalah warga Amerika, sedangkan secara rahasia Amerika menyelamatkan ‘sang agen’ tersebut dengan mengembalikannya secara rahasia ke Amerika.
Sebuah kenyataan bahwa pemerintah yang ada tengah melakukan operasi ”Pancing dan Jaring” jilid II. Pada saat yang sama mereka memancing para aktivis yang over radikal-dengan keberadaan Ali Mohamed tersebut, untuk kemudian menjaring segala bentuk elemen senafas yang ada di masyarakat meski mereka tidak setuju dengan berbagai peristiwa yang ada di Indonesia.

Penanganan Terorisme = Potret Kegagalan Reformasi
Jika kita renungi, potret penanganan para tersangka teror di Indonesia jelas-jelas menunjukkan kegagalan Reformasi yang telah berjalan lebih dari 11 tahun. Paling tidak hal ini bisa dilihat pada fenomena berikut.
Pertama:  Penanganan ini dilakukan dengan menempatkan kepolisian sebagai lembaga superbody. Padahal jelas, bahwa lembaga kepolisian memiliki catatan korupsi yang telah dimaklumi publik.
Kedua:  Pengaktifkan kembali seluruh unit territorial TNI dalam menciptakan kondisi yang diinginkan kepolisian di kalangan masyarakat awam. Padahal, jika dilihat secara umum, masyarakat awam dan pedesaan bukanlah sasaran para tersangka tersebut, sedangkan yang menjadi sasaran adalah hotel-hotel dan kepentingan milik Amerika.
Ketiga: Tiadanya proses penegakan hukum, tetapi yang ada adalah proses eksekusi yang tanpa melalui jalur hukum yang semestinya. Kepolisian yang ada saat ini tidak lagi menunjukkan sebagai pengayom masyarakat. Tetapi lebih menunjukkan sebagai agen baru militerisme di Indonesia.
Keempat: Tidak adanya transparansi dalam pengungkapan bukti-bukti utama dan saksi-saksi kunci dalam penanganan kasus teror. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Ali Mohamed yang jelas-jelas menjadi aktor utama. Betapa tidak? Tanpa pendanaan dari Ali Mohamed, para tersangka tersebut jelas tidak mungkin melaksanakan aksi teror, sebagaimana yang dituduhkan kepolisian tersebut.
Kelima: Hilangnya fungsi pemerintah sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat, sehingga muncul upaya untuk mengintimidasi segala bentuk ormas-ormas terbuka bentukan rakyat yang telah menikmati udara kebebasan reformasi. Dengan tuduhan sebagai aktor utama pemikiran radikalisme Islam.
Demikianlah realitas yang bisa kita petik dari penanganan kasus terorisme yang ada di tanah air. Sebuah kenyataan yang menunjukkan bahwa kita sudah seharusnya melakukan satu upaya balik untuk menyadarkan masyarakat, bahwa mereka telah dipimpin oleh penguasa korup yang mudah dikendalikan oleh kepentingan asing, sehingga rela mengorbankan rakyat sendiri.


[1] Sebagaimana yang dimuat di sejumlah surat kabar pasca penyerangan Noordin M. Top di Temanggung. www.ansharuttauhid.com

الملك فيصل أنشأ منظمة المؤتمر الإسلامي وأقر الندوة العالمية للشباب الإسلامي لتحقيق التضامن بين أبناء الأمة

الرياض: بدر الخريف – الشرق الاوسط-
وضع الملك فيصل بن عبد العزيز تحقيق مفهوم التضامن الإسلامي ضمن جهوده وإسهاماته امتدادا للدور الذي قام به الملك عبد العزيز وأبناؤه في خدمة هذا المطلب وتفعيله وجعله حقيقة واقعة، حيث ساهم قيام الدولة السعودية ومجيء الملك المؤسس في إحياء هذا الأمل الذي كان هاجس المسلمين على مر التاريخ ابتداء من عصر الخلفاء الراشدين مرورا بالدولة الأموية والدولة العباسية والدول الإسلامية التي ظهرت على مسرح الأحداث في فترات من تاريخ الأمة، مرورا بجهود علماء المسلمين في العصور المختلفة. ولعل أبرزهم ابن تيمية وصلاح الدين الأيوبي والعز بن عبد السلام والظاهر بيبرس، والشيخ محمد بن عبد الوهاب وجمال الدين الأفغاني ومحمد عبده ومحمد اقبال وغيرهم، وهي جهود ظهرت وكانت سائدة في ربوع الدولة الاسلامية من أقصاها الى أقصاها على كل المستويات العلمية والعسكرية والسياسية والاقتصادية. وشكل التضامن الإسلامي والالتفاف المتحد حول كلمة التوحيد أهم أسباب النجاح الذي حققته الأمة الإسلامية في عصورها الذهبية، كما شهدت الأمة عندما شعرت بالأخطار المحدقة بها ورأت الفرقة والشتات وذاقت آثار الحروب، دعوات أطلقها المخلصون من أبناء الأمة من السياسيين والعلماء الى ضرورة إحياء التضامن الاسلامي والوقوف في وجه أعداء الأمة والدفاع عن الاسلام ومكتسباته.
ويعد الملك فيصل الرائد الحقيقي للتضامن الاسلامي في العصر الحديث، حيث كان مقتنعا بالتضامن فكرة ومنهجاً، وتوافرت لديه آليات تطبيق التضامن الإسلامي، فأخذ يسعى حثيثا لترسيخ قواعده وإقناع الآخرين به، مما دفع مشروع التضامن الإسلامي الى الأمام وجعله الخيار الأفضل الذي يتفق مع ثوابت الأمة ومنهاجها.
وتمكن الملك فيصل، الذي حكم بلاده من عام 1964 الى 1975م، من تسجيل مواقف مشرفة له في خدمة القضايا العربية والإسلامية، حيث أسهم في لم شمل العرب بعد هزيمة 1967، ووقف موقفا حازما فيما يتعلق بحرق المسجد الأقصى، كما أنه أول من استخدم سلاح النفط في وجه المعادين للحق العربي والإسلامي في فلسطين وغيرها. وقد هابه الغرب ونفذ كثيرا من مطالبه العادلة.
اعتبر الدكتور مانع بن حماد الجهني، الأمين العام للندوة العالمية للشباب الإسلامي، وعضو مجلس الشورى السعودي سابقاً في رصده لفكرة وتاريخ التضامن الإسلامي ودور السعودية في ذلك، أن مشروع التضامن الإسلامي كان الهم الكبير الذي شغل الملك فيصل طوال حياته السياسية، ولاسيما بعد ان اشتدت حملة الأفكار المستوردة في المنطقة العربية خاصة الشيوعية، مشددا على أن الملك فيصل كان مؤمنا أعمق الإيمان بأن الأمة الاسلامية لا ينهض بها إلا الإسلام، ولقد تحمل في سبيل دعوته للتضامن الاسلامي عداوة المعارضين وتهم المشككين، ولكنه كان مؤمنا بما يفعل، ماضيا فيما يعتقد.

يقول صلاح الدين المنجد في كتابه أحاديث عن فيصل والتضامن الإسلامي: «لقد كان فيصل بطل الدعوة إلى التضامن الإسلامي، ولقد لقي في دعوته هذه مصاعب لا تحد، ومتاعب لا توصف، لكنه كان مؤمنا حقا فيما يدعو إليه. ما كان يبغي زعامة ولا شهرة، ولا سلطانا ولا ثروة، فتابع سيره في دعوته بذكاء وحذر، وجرأة وعناد، وحكمة ومرونة، حسب الظروف، واستطاع أن يبلغ هدفه وأن ينتصر».
وقد ذكر الدكتور المنجد أن ما حققه الملك فيصل ـ رحمه الله ـ في دعوته للتضامن الاسلامي يرقى إلى مصاف المعجزة الجديدة، حيث يقول: «وفي هذا القرن بدأت معجزة جديدة تحققت على يد رجل عظيم، المعجزة هي كسر القيود التي كانت تمنع المسلمين في كل مكان في العالم، من العودة إلى ما أمرهم به الإسلام من التعارف والتآلف، والتضامن والتعاون، والسعي إلى عودتهم أمة واحدة تعود من جديد خير أمة، وأقوى أمة وأنفع أمة، أما الرجل فهو فيصل بن عبد العزيز».
منطلقات دعوته للتضامن الإسلامي
* لقد رأى الملك فيصل أن الأمة الإسلامية لا يمكن أن تنهض وتتحقق لها العزة والكرامة، إلا من خلال عودة حقيقية الى منابع الاسلام الصافية، كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم والى ما تدعو اليه هذه المنابع من التزام بالإسلام وتضامن بين المسلمين وتعاون على البر والتقوى لما فيه خير الاسلام والأمة الاسلامية.
ولذا كانت دعوة الملك فيصل امتدادا للدعوات الإصلاحية التي تدعو إلى العودة إلى الإسلام وتطبيقه في مناحي الحياة كافة. فالأساس الأول لدعوة الملك فيصل للتضامن الإسلامي هو كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم والعودة إلى الإسلام من جديد.
. أما المنطلق الثاني لدعوة التضامن الإسلامي فكان الرغبة الأكيدة في صد الفكر الشيوعي الذي اكتسح المنطقة العربية والاسلامية ووجد مؤيدين ومدافعين بين حكام العرب والمسلمين الذين لم يروا في الاسلام ما رأوا في الشيوعية. ورأى الملك فيصل أن عليه أن يطرح الإسلام والتضامن بديلا عن الدعوات الاجنبية التي تتعارض مع دين الامة وفكرها وطبيعتها.
أما المنطلق الثالث لدعوة فيصل للتضامن الاسلامي فكانت رغبته الأكيدة في جمع كلمة الأمة الاسلامية على الإسلام وقيام جبهة إسلامية موحدة تقف في وجه الاستعمار والصهيونية العالمية ومطامعها في العالم العربي، وكذلك الوقوف في وجه الزحف الشيوعي الذي يريد أن يحصل على مواقع استراتيجية في العالم الإسلامي ينفذ من خلالها سياسيا واقتصاديا وايديولوجيا إلى مراكز الحضارة الاسلامية في أنحاء العالم. ولقد أدرك دعاة هذه الثلاثة: الاستعمار والصهيونية والشيوعية خطر دعوة التضامن الإسلامي فكانوا أبرز أعدائها. وقد حذر الملك فيصل في أكثر من خطبة من هذه المخاطر، وأوضح العلاقة بين الشيوعية والصهيونية في أكثر من مناسبة، فقد قال في خطبته في موسم حج عام 1390هـ: من هم أيها الأخوة قادة الشيوعية الذين حملوا لواءها وبثوا معتقداتهم في العالم؟ إنهم ايها الإخوة كلهم من الصهيونيين الذين خططوا وسعوا إلى تحطيم البشرية وتهديدها ليصلوا الى مبتغاهم، وهو السيطرة على العالم.
وقد حدد الشيخ مناع القطان بواعث دعوة الملك فيصل إلى التضامن الإسلامي في أمور عديدة في مقدمتها:
* الباعث الديني: انطلاقا من تربية الملك فيصل وثقافته وقناعته الفكرية والايمانية بأن الاسلام هو سبيل النجاة للمسلمين في كل زمان ومكان.
* مواجهة التيارات والشعارات المبددة لآمال الأمة: أصبحت المنطقة العربية مرتعاً خصباً لعدد من الأفكار المستوردة والدعوات المناوئة للاسلام فصمم فيصل على مواجهتها بالتضامن الاسلامي.
* الرغبة في جمع شتات المسلمين لاسترداد حقوقهم ودرء الأخطار المحدقة بهم. لقد رأى الفيصل أن في التضامن جمعاً لكلمة الأمة وتوحيداً لشتاتها وتقوية لضعفها والوقوف في وجه أعدائها.
ولا شك أن هذه هي المنطلقات الصحيحة التي ينبغي أن تنطلق منها الدعوات العظيمة التي يمكن أن تستجيب لها الأمة وتحقق من خلالها أهدافها التي تسعى اليها.
خطوات عملية لتحقيق التضامن
* لقد كان إيمان الملك فيصل بأهمية التضامن والتعاون بين المسلمين راسخاً حتى قبول توليه الحكم. كما يشهد بذلك كل من تتبع مسيرته واتصل به عن قرب. وعندما بدأ فعلاً بتنفيذ مشروعه للتضامن الاسلامي سار فيه بالتدريج على ثلاث مراحل:
ـ المرحلة الأولى: تمثلت في الدعوة الى التضامن الاسلامي وتأكيد أهمية التعاون بين المسلمين وانه هو السبيل الى تكامل الدول الاسلامية والتخلص من هيمنة: الاستعمار والصهيونية والشيوعية، وقد وجدت هذه الدعوة صدى لدى الكثيرين في العالم الاسلامي
خصوصا بين رجال الدعوة والفكر. وكان الملك فيصل يعرض دعوته في كل مناسبة ولا سيما في موسم الحج. ومع ذلك فقد وجدت معارضة شديدة من أعداء التضامن الإسلامي الذين حددهم «بأنهم الاستعماريون واليهود والصهيونيون والشيوعيون» و«اذنابهم من المخدوعين والمأجورين في العالم الاسلامي».
ـ المرحلة الثانية: تمثلت هذه المرحلة في برنامج الزيارات المكثف الذي قام به الملك فيصل، فقد اقتنع بأن فكرة التضامن الإسلامي اصبح لها مؤيدون وانها فكرة يمكن اقناع صانعي القرار في العالم الاسلامي بأهميتها. ولكن ذلك يحتاج الى اتصال شخصي وحوار مباشر مع حكام الدول الاسلامية وهكذا بدأت رحلات الملك فيصل المتعددة لدول العالم الاسلامي لكسب مؤيدين وأنصار لفكرة التضامن الاسلامي. وقد شملت رحلات الملك فيصل كثيرا من الدول الاسلامية، فقد قام برحلة في أواخر عام 1965م والنصف الأول من عام 1966م شملت الدول الآتية:
ـ إيران عام 1965 وزار في طريق عودته دولة الكويت، وفي عام 1966 زار كلا من الاردن والسودان وباكستان وتركيا والمغرب وغينيا ومالي وتونس.
أما رحلة الملك الثانية الطويلة فقد كانت إلى افريقيا في عام 1972م وقد شملت اوغندا وتشاد والسنغال وموريتانيا والنيجر.
ويلاحظ انه في كل هذه الزيارات كانت تصدر بيانات مشتركة يركز فيها على أهمية التضامن الإسلامي والتعاون بين الدول الاسلامية حتى في الدول العلمانية أو الشيوعية في ذلك الوقت، كما حصل في تركيا وغينيا. ولا شك أن في هذا نصرا لفكرة التضامن الاسلامي ونجاحا لسعي الملك فيصل في اقناع رؤساء الدول الإسلامية بأهمية التضامن الاسلامي والتعاون بين الدول الاسلامية.
ـ المرحلة الثالثة: من برنامج الملك فيصل للتضامن الإسلامي تمثلت في الخطوات العلمية التي وضعت القواعد الصلبة لمؤسسات التضامن الإسلامي حيث دعا لعقد المؤتمرات التي ناقشت الفكرة وتمخضت عن عقد مؤتمر قمة نتج عنه انشاء منظمة المؤتمر الإسلامي، وكان من انجازات هذه الرحلة انشاء الندوة العالمية للشباب الإسلامي وغيرها من المؤسسات التي تدعم فكرة التضامن الإسلامي ومن ابرزها رابطة العالم الاسلامي التي انشئت في عهد الملك سعود بقرار من قادة المسلمين الذين اجتمعوا خلال المؤتمر اسلامي في عام 1962م في مكة المكرمة بواكير التضامن حقيقة واقعة
* لقد كان لجهود الملك فيصل وايمانه الذي لا يتزعزع بأهمية التضامن الاسلامي وضرورة السعي الى تحقيقه نتائج باهرة على المستويين العربي والإسلامي تحققت تدريجيا من الخطوات التدريجية التي اتبعها لتحقيق هدفه الكبير. فقد بدأ بالدعوة والتعريف بالتضامن وأهميته وضرورته للأمة الاسلامية ثم أتبع ذلك بزيارات متعددة لرؤساء الدول الاسلامية. وبعد ذلك بدأ بالخطوات التنفيذية التي جعلت بواكير التضامن حقيقة ملموسة ومن أهم تلك النتائج:
ـ توضيح مفهوم التضامن الاسلامي وإبراز آثاره الايجابية وايجاد القناعة بأنه السبيل الوحيد للنهوض بالأمة الاسلامية وتحقيق التعاون المثمر بين بلدانها واشاعة روح الوحدة والمحبة بين شعوبها. وقد سبق أن خفتت الدعوة الى التضامن الاسلامي والوحدة الاسلامية بعد الرواد الاوائل من امثال جمال الدين الافغاني ومحمد اقبال وعبد الرحمن الكواكبي وغيرهما فأحياها الملك فيصل على مستوى أعلى وبزخم أشد وعرضها بديلا مناسبا من الدعوات المضللة التي اجتاحت المنطقة العربية. وقد تجاوز الملك فيصل في دعوته نطاق الدول العربية الى الدول الاسلامية في القارتين الاسيوية والافريقية.
ـ كسب أعوان ومؤيدين لمشروع التضامن الاسلامي وأهمية التعاون بين الدول الاسلامية وبناء جسور للتفاهم والسعي المشترك لتحقيق الاهداف التي يسعى اليها في خدمة الأمة الاسلامية.
ـ تعزيز موقف الدول العربية وحشد التأييد لقضية فلسطين قضية المسلمين الاولى، وقد اسفرت بعض الزيارات عن قطع علاقات بعض الدول التي زارها الفيصل مع اسرائيل مما يدل على نجاح مساعيه.
ـ القيام بالخطوات التنفيذية لعقد أول مؤتمر اسلامي لوضع الأسس التي دعا اليها الفيصل. وقد سبق للرئيس الصومالي ان قدم اقتراحا الى مؤتمر العالم الاسلامي الذي عقد في مقديشو أواخر عام 1964م لعقد مؤتمر قمة اسلامي للنظر في شؤون المسلمين وتوحيد جهودهم، وتبنى المؤتمر هذا الاقتراح وأيد الملك فيصل الدعوة مجددا في اجتماع الدورة الثاني لرابطة العالم الاسلامي في 17/4/1965م في مكة المكرمة حيث قال: «اننا نؤيد الدعوة الى مؤتمر قمة اسلامي ليكون في مقدور أعلى قمة اسلامية ان تبحث في قضايا المسلمين وتقرر امورهم». وقد أكدت هزيمة 1967م ثم حرق المسجد الاقصى أهمية الدعوة الى مؤتمر القمة، فجاءت الدعوة مجددا إلى عقد مؤتمر قمة في الرباط وعقد فعلا في 12 سبتمبر 1969م، وحضرته حوالي 23 دولة. وقد احتوى البيان الختامي على بعض الفقرات التي تدعم التعاون والتضامن الاسلامي منها: «ايمانا منهم بأن وحدة عقيدتهم الدينية هي عامل قوي لتقارب شعوبهم وتفاهمها، وتعبيرا عن ايمانهم الراسخ بتعاليم الاسلامي التي أرست قاعدة المساواة التامة في الحقوق بين جميع البشر، يعلنون ما يلي: ستتشاور حكوماتهم بغية التعاون الوثيق والمساعدة المتبادلة في الميادين الاقتصادية والعلمية والثقافية والروحية، وحيا من تعاليم الاسلام».
وقد اجتمعت لجان المتابعة، ثم اجتمع وزراء خارجية الدول الاسلامية في جدة، حيث وافقوا على إنشاء امانة عامة للدول الاسلامية لتنسيق الأمور بين الدول الاسلامية. ووافقت على المشروع 17 دولة واعترضت عليه مصر والسودان وليبيا. وهاجم وزير خارجية مصر آنذاك محمود رياض مشروع تأسيس الامانة. وقد وضع ميثاق للمؤتمر الاسلامي الذي صدق عليه وزراء الخارجية في اجتماعهم الثالث في جدة بتاريخ 9 يناير 1973م. وفي اغسطس 1974 اجتمع وزراء مالية الدول الاسلامية وأقروا مشروع اتفاقية البنك الاسلامي للتنمية.
وتلا ذلك انشاء عدد من الهيئات المنبثقة عن منظمة المؤتمر الاسلامي التي حاولت ان تضع الاسس للتعاون بين الدول الاسلامية في عدد من المجالات المهمة.
ـ في اطار تفعيل التضامن الاسلامي أنشأ الملك فيصل في عام 1972م، بالاضافة الى منظمة المؤتمر التي تسعى لتحقيق التضامن الاسلامي على المستوى الرسمي بين الدول الاسلامية، الندوة العالمية للشباب الاسلامي لتحقيق التضامن بين المراكز الاسلامية والجاليات المسلمة في الدول غير الاسلامية وتقديم العون والمساعدة لهم، وكان ذلك في اثناء موسم الحج حيث عقد مؤتمر لمناقشة قضايا العالم الاسلامي. وبعد ذلك بحوالي عشر سنوات وايمانا من الفيصل بأهمية الشباب ودوره في نهضة الأمة وضرورة ان ينشأ على الاسلام والتضامن الاسلامي، انشئت الندوة العالمية للشباب الاسلامي عام 1392هـ /1972م لتحقيق التضامن الاسلامي بين شباب الأمة المسلمة وتقديم الخدمات لابناء المسلمين في انحاء العالم وتنسيق جهود المنظمات الشبابية والطلابية لتقوية الأمة الاسلامية وتعزيز وحدتها والارتباط فيما بين شعوبها واقطارها.
وعلى الرغم من أن التضامن الاسلامي الكامل لم يتحقق بعد، فان انجازات الملك فيصل وضعت الأسس ومهدت السبيل للخطوات القادمة. وقد ظل حتى استشهاده يرعى التضامن الاسلامي ومؤسساته ويقدم كل ما يستطيع لتفعيل دورها والوصول بها الى المستوى المطلوب.