Showing posts with label Tarbiyah. Show all posts
Showing posts with label Tarbiyah. Show all posts
مقدمة

            الحمد لله الذى فضل على بنى آدم بالعلم والعمل على جميع العالم، والصلاة والسلام على محمد سيد العرب والعجم، وعلى آله وأصحابه ينابيع العلوم والحكم.
            وبعد...
            فلما رأيت كثيرا من طلاب العلم فى زماننا يجدون إلى العلم ولايصلون [ومن منافعه وثمراته ـ وهى العمل به والنشر ـ يحرمون] لما أنهم أخطأوا طريقه وتركوا شرائطه، وكل من أخطأ الطريق ضل، ولاينال المقصود قل أو جل، فأردت وأحببت أن أبين لهم طريق التعلم على ما رأيت فى الكتب وسمعت من أساتيذى أولى العلم والحكم، رجاء الدعاء لى من الراغبين فيه، المخلصين، بالفوز والخلاص فى يوم الدين، بعد ما استخرت الله تعالى فيه، وسميته:
تعليم المتعلم طريق التعلم1
وجعلته فصولا:
  1. فصل : فى ماهية العلم، والفقه، وفضله.
  2. فصل : فى النية فى حال التعلم.
  3. فصل : فى اختيار العلم، والأساتذ، والشريك، والثبات.
  4. فصل : فى تعظيم العلم وأهله.
  5. فصل : فى الجد والمواظبة والهمة.
  6. فصل : فى بداية السبق وقدره وترتيبه.
  7. فصل : فى التوكل.
  8. فصل : فى وقت التحصيل.
  9. فصل : فى الشفقة والنصيحة.
  10. 10.      فصل : فى الإستفادة واقتباس الأدب.
  11. 11.      فصل : فى الورع.
  12. 12.      فصل : فيما يورث الحفظ، وفيما يورث النسيان.
  13. 13.      فصل : فـيمـا يجـلب الـرزق، وفيـما يمـنع، وما يزيـد فى العـمـر، وما  ينقص.
                وما توفيقى إلا بالله عليه توكلت وإليه أنيب.


    1   فى الأصل والمخطوطين: .. فى طريق التعلم، وربما تكون (فى) من إضافة الناسخ أو وهمه، خصوصا أن عنوان الكتاب كما هو أعلاه نقله غير واحد من مؤلفى كتب الرجال واكتفينا بالاسم الذى اشتهر به الكتاب والأمر قريب على كل حال.

    Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc

    Ihsan dan itqan adalah dua istilah yang terdapat dalam Alquran dan sunah yang berkaitan dengan amal perbuatan seorang Muslim yang harus dilakukannya dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini. Ihsan berarti optimalisasi dalam kebaikan. Artinya, kebaikan apa pun yang dilakukan seorang Muslim harus selalu optimal dalam persiapan dan pelaksanaannya, agar hasilnya didapat secara optimal pula.

    Allah SWT berfirman dalam QS al-Mulk [67]: 2: "(Dia) Yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (optimal). Dan, Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun."

    Jika seorang Muslim sedang melakukan ibadah maka dipersiapkan dan dilakukan dengan baik, baik ilmu pengetahuan yang berkaitan dengannya maupun teknis pelaksanaannya. Ketika melaksanakan ibadah haji, misalnya, ilmunya dipersiapkan, tata cara pelaksanaannya disempurnakan, juga menjaga kesehatan jasmani rohani, sehingga betul-betul predikat haji mabrur dapat diraih, termasuk menjaga dan mempertahankannya ketika ia sudah kembali ke kampung halamannya.

    Seorang Muslim yang sedang mendapatkan amanah jabatan publik di wilayah eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, ia penuhi amanah tersebut dengan semaksimal mungkin agar betul-betul mampu mempersembahkan yang terbaik bagi kepentingan masyarakat dan bangsa di wilayah pekerjaannya tersebut. Amanah dan profesionalitas merupakan ciri utama dari pejabat Muslim tersebut. Karena disadarinya, semuanya akan dipertanggungjawabkan kepada konstituennya di dunia ini dan terutama kepada Allah SWT kelak kemudian hari, dan selalu berusaha menjauhi sifat khianat.

    Allah SWT berfirman dalam QS al-Anfal [8]: 27: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui."

    Sedangkan, itqan berarti kesungguhan dan kemantapan dalam melaksanakan suatu tugas, sehingga dikerjakannya secara maksimal, tidak asal-asalan, sampai dengan pekerjaan tersebut tuntas dan selesai dengan baik. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melaksanakan suatu pekerjaan, maka pekerjaaan tersebut dilakukannya dengan itqan." (HR Thabrani).

    Karena itu, ihsan dan itqan harus selalu menjadi ruh dan spirit bagi setiap Muslim dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya, baik yang berhubungan dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia, sehingga pekerjaannya itu akan selalu bernilai ibadah dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Wallahu a'lam.
    Redaktur: Siwi Tri Puji B  www.republika.co.id
    Oleh: Ust. Abu Bakar Ba’asyir
      “ Zaman sekarang, kita benar-benar terjebak dalam krisis amal jama’i.  Betapa susahnya menemukan mereka yang mendapatkan barokah dengan bersikap tenang dalam ketaatan terhadap Amir, serius dan tanpa banyak bicara, tetap teguh pada tugas yang telah diprogramkan.  Bersikap waspada, banyak diam, sembari terus berlatih dan tidak terpengaruh situasi global hingga tujuan mereka tercapai.  Sikap semacam inilah yang seharusnya dimiliki para mujahid dan ahluddin hari ini”. (Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisy)
    Dalam sebuah ayat Allah berfirman:
     “ Sesungguhnya, Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. “ (Ash Shaff: 4)
    Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan pentingnya pasukan jihad yang teratur dan terkendali.  Dalam berbagai kitab tafsir disebutkan bahwa arti penting pasukan jihad yang terkoordinasi dengan baik terbagi dalam dua aspek;
    Pertama         : Adanya dalil-dalil dari nash syar’i itu sendiri
    Kedua            : Tuntutan kondisi kaum muslimin yang mengharuskan untuk mengambil sebab datangnya pertolongan Allah, yakni kekuatan, kekokohan dan keteguhan.
    Aspek kedua muncul karena hari ini musuh umat Islam -baik itu Negara atau organisasi- telah berupaya maksimal dalam menghadapi kaum muslimin.  Mereka benar-benar membekali diri dengan kekuatan yang terorganisir dan terprogram, baik dari segi persenjataan, media, kekuatan personal dan sebagainya.
    Sebaliknya, tidak sedikit kaum muslimin justru bersikap ceroboh ketika menghadapi musuh.  Hal ini sangat tampak ketika mereka hanya menggunakan bekal yang begitu terbatas, persiapan yang lemah dan penuh dengan ketergesaan, gerakan yang terpecah belah dan sendiri-sendiri, yang berakhir dengan terjadinya fitnah dan kerusakan yang dahsyat yang antara lain berupa hilangnya kebenaran dalam kehidupan masyarakat.
    Mengapa demikian? Karena kecerobohan dalam berbagai aksi jihad yang dilakukan justru memberi kesempatan bagi thaghut untuk menghinakan Syari’at Islam dan menghapuskan jihad dari otak – benak kaum muslimin, dengan cara menangkapi para aktivisnya, memberikan citra buruk terhadap jihad dan mujahidin serta mengumumkan bahwa Islam adalah agama teror yang hina.
    Allah berfirman:
    “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfal: 73)

    Jihad adalah Amal Jama’i
    Meskipun jihad seorang diri termasuk jihad yang dibenarkan dan dapat mengantarkan pelakunya kepada mati syahid, tapi bukan berarti kita lantas mengabaikan manajemen sebuah peperangan yang telah dikendalikan oleh sebuah jama’ah.
    Adapun alasan syar’i mengenai hal ini, adalah sebagaimana yang tercantum dalam ayat di atas dan bahwa Allah telah memerintahkan kaum muslimin agar mempersiapkan kekuatan yang benar-benar cukup.  Dalam rangka, memberikan rasa takut pada orang-orang kafir dan murtad.
    Allah berfirman:
    Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).(Al Anfal: 60)
    Berdasarkan ayat di atas, seluruh kaum muslimin WAJIB menempuh semua sebab-sebab kekuatan dan berusaha keras untuk meraih kemenangan materi dan maknawi, sehingga dapat menakuti musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kaum muslimin baik itu orang-orang kafir maupun munafik.
    Adapun metode syar’i untuk meraihnya adalah dengan; Al-Jama’ahSistem Organisasi yang baikPerencanaan yang rapi,Kepemimpinan yang kuat dan Ketaatan syar’i. Kelima unsur tersebut merupakan hal yang sifatnya darurat untuk segera dipenuhi dalam i’dad yang sesuai dengan syar’i.
    Rasulullah n bersabda, “Aku memerintahkan kalian dengan lima hal yang Allah telah perintahkan aku dengannya: Mendengar dan Taat, Jihad, Hijrah dan Jama’ah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
    Demikianlah karakter jama’iyah dari Tha’ifah Manshurah.  Hari ini mereka ada, yaitu mereka yang berjihad di zaman ketika tidak adanya kekhilafahan hingga menjelang kiamat, yakni ketika seluruh nyawa orang mukmin dicabut dengan angin harum dari Yaman.
    Sifat tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits seputar keberadaan mereka yang sifatnya mutawatir yang berarti menunjukkan keberadaan mereka dan keberlangsungannya hingga akhir zaman.
    Rasulullah n bersabda, "Akan senantiasa ada di antara ummatku suatu kelompok/jama’ah yang tampil membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan (tidak menolong) mereka sehingga datang ketetapan Allah, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian." (HR. Muslim)

    Dr. Abdullah Azzam berkata, Jihad adalah Ibadah Jama’iyyah yang tidak akan terlaksana, kecuali dengan adanya jama’ah yang berhadapan dengan masyarakat jahiliyyah atau masyarakat kafir.  Oleh sebab itu jihad tidak akan diwajibkan di Mekah karena lemahnya kaum muslimin, sedikitnya jumlah mereka dan ketidaksanggupan mereka untuk menghadapii jahiliyyah yang mengandalkan kekuatan dan jumlah.
    Adapun selama jihad itu merupakan ibadah jama’iyyah, maka yang memegang perkara ini haruslah amirul jama’ah, dan dialah yang mengumumkan jihad. (I’lanul Jihad, Dr. Abdullah Azzam, hlm.8)
    Dengan demikian, apakah masuk akal jika thaifah mansurah melaksanakan kewajiban jihad dengan sendiri-sendiri tanpa bentuk jama’ah yang berpijak di atas prinsip As Sam’u wat Tha’ah? Marilah kita simak sejarah Rasulullah n dan para sahabatnya, ketika mereka belum memiliki daulah islam. Apakah mereka bergerak dalam dakwah sendiri-sendiri tanpa adanya jama’ah dan ketaatan pada Rasulullah n, ataukah mereka bergerak dalam jama’ah yang rapi dan ketaatan terhadap Amir?
    Rasulullah SAW bersabda, “Hendaknya kalian mengikuti Al Jama’ah dan jauhilah perpecahan, karena sesungguhnya syaithan itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua orang.  Barang siapa yang menginginkan intinya surge hendaknya mengikuti Al Jama’ah” (Hukmul Islam fi Ad Dimuqratiya waa Ta’adudiyyah Al Hizbiyyah: 174)
    Setelah menjelaskan tentang salah satu sifat Ath Thaifah Al Manshurah, syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah memberikan peringatan bahwa meskipun jihad fie sabilillah adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim ketika tidak ada khilafah, hendaknya mereka tidak melaksanakannya secara perorangan (individu).
    Karena jihad merupakan ibadah jama’I dan akan menimbulkan madharat (bahaya) jika amal jama’i ini dilakukan secara perorangan.  Oleh sebab itu, antar harakah jihadiyah wajib melakukan koordinasi yang sinergis demi melaksanakan kewajiban ini. (Shifatu Ath Tha’ifah Al Manshurah Allati Yujibu An tukatsira Sawadaha Shifat II: Al Jihad Fi Sabilillah)

    Tetaplah Bersabar di Jalan Allah
    Sesungguhnya, jihad adalah jalan tercepat untuk menuju jannah.  Betapa tidak, rasa takut yang mengguncang dada mujahidin dalam sebuah pertempuran dapat menggugurkan dosanya, juga setetes darah pertama yang menetes ke bumi dari seorang mujahid yang ikhlas dan mengharap agar ia dilihat Allah, benar-benar dapat menghapus segala dosa yang ada padanya tanpa terkecuali.
    Namun menunaikan jihad fii sabilillah juga harus memperhatikan konteks riil lapangan dan adanya tingkatan kemampuan sehingga ia betul – betul tegak diatas nilai dan kaedah yang syar’I serta terbebas dari dorongan- dorongan emosi semata – mata . Karena itu Ibnul Qayyimrohimahulloh membuat paling tidak ada 13 langkah dalam 4 bagian besar menuju Jihad yang sesungguhnya .
    Dalam meniti hal-hal itu , maka kita wajib bersabar sebagaimana firman Allah:


    Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. ( QS Ali Imron : 146 )
    Dari ayat yang mulia ini , Alloh Azza wa Jalla memberi kriteria sabar dalam tiga perwujudan yakni :
    1.      Tidak lemah mental dalam makna tetap bersemangat.
    2.      Tidak lesu yang berarti terus menerus beramal shalih. Sebab kesakitan dan pengorbanan ada nilainya di sisi Allah.
    Allah berfirman:
    “Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). jika kamu menderita kesakitan, Maka Sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 104)
    3.      Tidak menyerah yang menunjukan keteguhan sikap Mujahid yang hanya bersemboyan hidup mulia atau mati syahid.
    Allah berfirman:
    Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas, dan Allah pun bersamamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. (Muhammad: 35)
    Terkait dengan jihad dalam satu shaf perjuangan yang rapi dan kokoh  maka bagi setiap anggota JAMA’AH ANSHARUT TAUHID, ingatlah bahwa kita tengah beramal jama’i.  Sudah seharusnya, masing-masing kita menepati janji ( mu’ahadah ) yang kita ucapkan dan tidak melanggarnya.
    Sudah seharusnya kita menyadari bahwa jika  jihad pada suatu ketika menjadi fardhu ‘ain sedangkan melaksanakan syari’at al jama’ah juga fardhu ‘ain pada setiap masa, sehingga tidak selayaknya kita kemudian membatalkan salah satu diantara keduanya demi melaksanakan jihad secara sendiri-sendiri. Karena sesungguhnya, jihad adalah amal jama’i yang fardhu ‘ain.
    Memang ada fenomena aneh yang berkembang, ketika seseorang membolehkan bahkan memprovokasi agar seorang Mujahid tidak perlu mematuhi Amir Jama’ahnya untuk berjihad tapi ia sendiri menuntut untuk dita’ati oleh orang yang diprovokasinya.
    Jadi ia menyuruh orang bermaksiat kepada Amir agar tha’at pada kemauannya sendiri. Akhirnya, rusaklah jama’ah yang dimana seseorang telah bermu’ahadah itu, celakanya lagi , orang itu telah merasa beramal sholeh dengan merusak jama’ahnya
    Oleh karena itu, kita wajib bersabar dalam jama’ah untuk melaksanakan dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad secara semesta, demi menegakkan Syari’at Islam di bumi Allah.
    Wajib atas kita bersabar ketika menghadapi kesempitan yang menghadang, ketika semua manusia memfitnah dan memburuk-burukkan aktifitas memperjuangkan Islam dalam sebuah amal jama’i demi tegaknya Syari’at Islam dengan dakwah dan jihad.
    Wajib atas kita untuk bersabar, ketika semua manusia menimpakan penderitaan.  Karena sesungguhnya, tidaklah mereka mampu menimpakan penderitaan kecuali atas izin Allah dan sesungguhnya godaan iblis dan pengikutnya itu sangatlah lemah di hadapan seorang mujahid yang betul-betul beriman.
    Juga wajib atas kita nantinya, untuk bersabar dalam pertempuran.  Terutama ketika Allah telah menakdirkan kita terjun di suatu daerah perang dan telah berhadap-hadapan secara langsung dengan musuh, yakni dengan tidak mundur ke belakang.
    Allah berfirman:
    “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, Maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka jahannam. dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 15-16)
    Maka hendaknya kita mampu bersabar untuk tidak beraksi di daerah aman yang bukan wilayah perang terbuka.
    Bersabarlah! Karena sesungguhnya sifat Tha’ifah Al Manshurah adalah bersabar dalam dakwah dan jihad. Sehingga Allah Ta’ala menakdirkan datangnya pertolongan dari sisiNya  kepada kaum muslimin secara keseluruhannya. Insya Alloh berjama’ah dalam ketho’atan jauh lebih barokah dan lebih berpeluang untuk menyongsong Nashrullahu Ta’ala . www.ansharuttauhid.com
    " Media massa dan elektronik cenderung tertarik pada peristiwa yang paling dramatis dan sensasional." (Charles Kimball, Guru Besar Studi Islam di Universitas Wake Forest)
     Sejarah akan senantiasa berulang. Paling tidak demikianlah ulasan ahli komunikasi dari Perancis. Sejarah berulang dalam pola yang serupa dan dalam waktu yang berbeda.
     Ketiga kutipan ini, boleh dikatakan sangat tepat untuk menggambarkan hingar bingar dunia modern yang sejak beberapa tahun terakhir, ketika disulut oleh demam "perang global melawan terorisme."
    Bahkan, berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi di Indonesia justru memberikan justifikasi kepada POLRI maupun TNI untuk kembali memeragakan pelanggaran HAM, kebebasan dan tindakan represif kepada rakyat sendiri. Pun, bukan karena keempat kasus tersebut menewaskan beberapa warga sipil pribumi.
    Hal ini jelas-jelas melanggar amanat Reformasi 1998 yang menitikberatkan pada kebebasan untuk memeluk keyakinan dan tatanan kehidupan bernegara yang jauh dari penindasan state terrorism  (terorisme oleh negara kepada rakyat), sebagaimana yang telah terjadi pada era Orde Baru-Soeharto.
    Karena pelanggaran hukum—apapun itu—sudah selayaknya mendapatkan penanganan yang tepat. Seorang tersangka berhak mendapatkan praduga tak bersalah hingga ia dapat dibuktikan kesalahannya di pengadilan. Bukannya di ruang-ruang gelap interogasi dan penyiksaan yang disiapkan oleh para penyidik kepolisian.
    Selain itu, penanganan dan penangkapan para tersangka oleh kepolisian, telah semakin jauh dari citra kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat.
    Kepolisian yang sebelumnya terkenal dengan pola penangkapan yang senyap, tenang dan hanya menggunakan senjata ringan dan gas air mata, kini telah disibukkan dengan berbagai parade ledakan granat, bom dan senjata berat demi menghabisi tersangka yang jauh dari proses peradilan.
    Bahkan, peradilan yang  disajikan di hadapan kita pun tidak lebih dari peradilan opini dan proses main hakim sendiri yang jauh dari fakta-fakta hukum di meja hijau. Anehnya, media massa yang ada justru berlomba-lomba untuk menjadi sarana penguat arus informasi mainstream yang diciptakan oleh kepolisian. Akibatnya, berbagai kasus human error yang terjadi selama pengungkapan kasus terorisme di negara ini nyaris tak terlaporkan.
    Satu hal yang perlu kita waspadai adalah adanya upaya pihak asing untuk menunggangi berbagai peristiwa peledakan di negeri ini, yang telah menewaskan putra-putri terbaik umat Islam. Hal ini jelas menjadikan satu hal yang tidak bisa disepelekan, mengingat sejarah umat Islam di Indonesia sangat erat dengan berbagai konspirasi yang justru menjebak putra-putri umat Islam yang ikhlas dalam agama dan amal.
    Masih teringat jelas dalam ingatan para aktivis Islam ketika mereka terjebak dalam operasi “Pancing dan Jaring”, yang dilakukan oleh Jenderal Ali Murtopo dan Jenderal Leonardus Benny Moerdani melalui parade kasus-kasus seperti:
    1.      Darul Hadits-Islam Jamaah (LDII) pada tahun 1970
    2.      Komando Jihad pada tahun 1976-1981
    3.      Jamaah Imran pada tahun 1981
    4.      Kasus Teror Warman tahun 1982-1984
    5.      Pembantaian Tanjung Priok oleh aparat pada 12 September 1984
    6.      Peristiwa Talangsari Lampung 1988-1989
    Anehnya, seluruh media massa dan elektronik di seluruh penjuru tanah air seakan berlomba-lomba untuk menyajikan bombardemen berita, dengan efek penyebaran ketakutan yang tak kalah mengerikan dibanding aksi-aksi ‘teror’ yang diperagakan oleh aparat saat penangkapan para aktivis muslim tersebut.
    Sampai-sampai provokasi media tersebut berujung pada peringatan keras dari PWI dan berbagai forum media watch lainnya.[1] Ironisnya, aneka peringatan tersebut, seolah hanya angin lalu. Tak ada permintaan maaf, tak ada revisi berita dan bahkan tidak ada upaya kantor-kantor berita tersebut untuk kemudian sedikit memperbaiki pemberitaan yang mereka sajikan.

    Siapakah yang Diuntungkan Dalam Aksi ‘Teror’ ini?
    Jika kita mau sedikit merenungi perkembangan kasus terorisme di tanah air, tentunya kita akan bertemu dengan pertanyaan besar, “Siapakah yang diuntungkan dengan operasi antiteror ini?”
    Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali kita akan segera membuat daftar panjang pihak-pihak yang mengambil untung dari peristiwa tersebut. Mulai dari Kepolisian RI yang kemudian menjadi lembaga superbody, sehingga tidak memerlukan lagi proses pengadilan demi mengeksekusi nyawa seseorang yang masih berstatus tersangka, belum berstatus terdakwa, belum pula berstatus terpidana.
    Kemudian juga media massa, yang tampak begitu bernafsu demi menaikkan tiras atau pendapatan iklan dari berbagai berita yang mereka sajikan. Tanpa peduli lagi etika-etika jurnalistik yang seharusnya menjadi doktrin asasi para jurnalis di seluruh dunia.
    Selain itu, fenomena menarik lainnya adalah masuknya kembali organ-organ TNI dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan warga negara. Dengan diaktifkannya kembali struktur territorial TNI sampai ke tingkat pedesaan (Babinsa).
    Tak ayal, keterampilan komando territorial TNI dalam mengolah isu dan menciptakan situasi pra perang (baca: permusuhan) di masyarakat jauh di atas kepolisian. Sehingga muncullah satu realitas yang aneh: “Penghakiman massa atas jasad para tersangka yang belum melalui proses pengadilan tersebut.”
    Hal ini muncul dari berbagai tanggapan aneh, seperti penolakan jasad  para tersangka tersebut untuk dimakamkan di daerahnya. Betapa tidak? Jelas-jelas yang datang ke desa atau tempat pemakaman mereka hanyalah jasad tak bernyawa, tetapi masih juga ditolak pemakamannnya . Sungguh, ini adalah suatu sikap yang sangat tidak mencerminkan budaya masyarakat Indonesia yang tepa-salira dan saling memaafkan.
    Demikianlah, kita melihat adanya proses adu-domba antar umat Islam. Pada satu sisi, para tersangka tersebut menyatakan menyelamatkan kepentingan umat Islam dengan melawan agen-agen Amerika di Indonesia. Pada sisi yang lain, masyarakat dan sejumlah ‘ulama’ yang termakan propaganda menyatakan menyelamatkan umat Islam dari keyakinan teroris.
    Sebuah politik Devide et Impera yang tak bisa ditolak realitanya. Aroma kepentingan asing (baca: Amerika) sebagai pihak yang mendalangi berbagai  peristiwa tersebut pun semakin menyengat, manakala ditemukan sejumlah bukti bahwa tersangka pendana segala aksi teror di Indonesia yang diklaim adalah Warga Negara Arab Saudi yang bernama Al Khaelawi Ali Abdullah alias Al Khalil Ali alias Ali Muhammad ternyata ber-KTP (keluaran 1999) dan berpassport Amerika!
    Bahkan, Mr. Ali Mohamed tersebut pun juga dianggap telah melatih sejumlah teroris dan memberikan sejumlah dana mereka untuk melakukan operasi pembunuhan terhadap SBY, peledakan dan berbagai aksi teror lainnya.
    Anehnya, sekaligus aneh bin ajaib! Pihak kepolisian, KBRI dan berbagai pihak yang semestinya bertanggung jawab terhadap hal ini, justru tidak memberikan  keterangan yang semestinya. Yang terjadi justru segala informasi ditutup-tutupi, sungguh sangat bertentangan dengan ide-ide transparansi yang menjadi nafas utama Reformasi di Indonesia.
    Sandiwara berikutnya pun sudah pasti bisa ditebak, Ali Mohamed akan di cross-check ke Kedutaan Besar AS di Indonesia. Selanjutnya,  di permukaan kedutaan tersebut tidak akan mengakui bahwa Ali Mohamed adalah warga Amerika, sedangkan secara rahasia Amerika menyelamatkan ‘sang agen’ tersebut dengan mengembalikannya secara rahasia ke Amerika.
    Sebuah kenyataan bahwa pemerintah yang ada tengah melakukan operasi ”Pancing dan Jaring” jilid II. Pada saat yang sama mereka memancing para aktivis yang over radikal-dengan keberadaan Ali Mohamed tersebut, untuk kemudian menjaring segala bentuk elemen senafas yang ada di masyarakat meski mereka tidak setuju dengan berbagai peristiwa yang ada di Indonesia.

    Penanganan Terorisme = Potret Kegagalan Reformasi
    Jika kita renungi, potret penanganan para tersangka teror di Indonesia jelas-jelas menunjukkan kegagalan Reformasi yang telah berjalan lebih dari 11 tahun. Paling tidak hal ini bisa dilihat pada fenomena berikut.
    Pertama:  Penanganan ini dilakukan dengan menempatkan kepolisian sebagai lembaga superbody. Padahal jelas, bahwa lembaga kepolisian memiliki catatan korupsi yang telah dimaklumi publik.
    Kedua:  Pengaktifkan kembali seluruh unit territorial TNI dalam menciptakan kondisi yang diinginkan kepolisian di kalangan masyarakat awam. Padahal, jika dilihat secara umum, masyarakat awam dan pedesaan bukanlah sasaran para tersangka tersebut, sedangkan yang menjadi sasaran adalah hotel-hotel dan kepentingan milik Amerika.
    Ketiga: Tiadanya proses penegakan hukum, tetapi yang ada adalah proses eksekusi yang tanpa melalui jalur hukum yang semestinya. Kepolisian yang ada saat ini tidak lagi menunjukkan sebagai pengayom masyarakat. Tetapi lebih menunjukkan sebagai agen baru militerisme di Indonesia.
    Keempat: Tidak adanya transparansi dalam pengungkapan bukti-bukti utama dan saksi-saksi kunci dalam penanganan kasus teror. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Ali Mohamed yang jelas-jelas menjadi aktor utama. Betapa tidak? Tanpa pendanaan dari Ali Mohamed, para tersangka tersebut jelas tidak mungkin melaksanakan aksi teror, sebagaimana yang dituduhkan kepolisian tersebut.
    Kelima: Hilangnya fungsi pemerintah sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat, sehingga muncul upaya untuk mengintimidasi segala bentuk ormas-ormas terbuka bentukan rakyat yang telah menikmati udara kebebasan reformasi. Dengan tuduhan sebagai aktor utama pemikiran radikalisme Islam.
    Demikianlah realitas yang bisa kita petik dari penanganan kasus terorisme yang ada di tanah air. Sebuah kenyataan yang menunjukkan bahwa kita sudah seharusnya melakukan satu upaya balik untuk menyadarkan masyarakat, bahwa mereka telah dipimpin oleh penguasa korup yang mudah dikendalikan oleh kepentingan asing, sehingga rela mengorbankan rakyat sendiri.


    [1] Sebagaimana yang dimuat di sejumlah surat kabar pasca penyerangan Noordin M. Top di Temanggung. www.ansharuttauhid.com
    Ketika anda berbicara dengan orang-orang yang lantang menyuarakan anti TBC (tawassul, bid'ah dan khurafat), anda akan mendengar pengakuan mereka, "Kami ahli hadits". Ketika anda berbicara dengan orang-orang yang anti madzhab dan menolak bermadzhab dengan salah satu madzhab fiqih yang empat, anda akan mendengar pengakuan mereka, "Kami pengikut ahli hadits". Ketika anda berbicara dengan mereka yang anti hadits dha'if, anda akan mendengar pengakuan mereka, "Kami ahli hadits".

    Ketika anda mendengar orang-orang yang sok mujtahid dan meremehkan para ulama, anda akan mendengar pengakuan mereka, "Kami pengikut ahli hadits". Nama ahli hadits seakan menjadi primadona yang diperebutkan, oleh orang-orang yang tidak mengikuti Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Siapa sebenarnya ahli hadits itu?
    Ahli hadits sebagai pembawa hadits-hadits Nabi saw dan atsar ulama salaf yang saleh, tentu memiliki posisi penting di hati sanubari kaum Muslimin. Dukungan ahli hadits terhadap suatu madzhab akan menjadi modal utama bagi suksesnya madzhab tersebut tersosialisasi, mengakar dan membumi di tengah-tengah masyarakat.

    Oleh karena itu, ketika Dinasti Abbasi bermaksud mensosialisasikan faham Mu'tazilah di kalangan umat akar rumput, Dinasti Abbasi memaksa ahli hadits agar mengakui dan melegitimasi faham tersebut dengan cara intimidasi, hukuman penjara, penyiksaan dan eksekusi terhadap ahli hadits yang menolaknya, sehingga lahirlah tragedi sejarah yang disebut dengan mihnah al-Qur'an (ujian para ulama tentang kemakhlukan al-Qur'an), dengan korban beberapa ulama ahli hadits yang disiksa, dipenjara dan dibunuh. Dinasti Abbasi dan ulama Mu'tazilah menyadari bahwa ideologi mereka tentang kemakhlukan al-Qur'an, tanpa dukungan dan legitimasi ahli hadits, hanya akan menjadi gerakan pemikiran kaum elit yang berada di singgasana langit dan tidak tersentuh kehidupan bumi, menikmati prestise, popularitas dan privilege.

    Namun demikian, di sini ada suatu hal yang lepas dari perhatian kebanyakan orang, bahwa ahli hadits sebenarnya tidak memiliki madzhab tertentu yang menyatukan paradigma mereka, baik dalam hal fiqih maupun dalam hal akidah. Kitab-kitab tentang rijal al-hadits dan biografi ahli hadits seperti Tahdzib al-Kamal, Tadzkirat al-Huffazh, Lisan al-Mizan dan lain-lain, menyebutkan dengan gamblang bahwa di antara perawi hadits ada yang mengikuti madzhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hanbali dan madzhab-madzhab fiqih yang lain.

    Dalam bidang akidah, di antara ahli hadits ada yang mengikuti aliran Syiah, Khawarij, Mu'tazilah, Mujassimah, madzhab al-Asyari, al-Maturidi dan aliran-aliran pemikiran yang lain. Di antara mereka ada juga yang mengikuti ideologi yang diaktualisasikan oleh Ibn Taimiyah yang diambilnya dari minoritas ahli hadits dan diklaimnya sebagai madzhab salaf dan Ahlussunnah Wal-Jama'ah. Tentu saja, motivasi mereka mengklaim pandangannya sebagai madzhab salaf dan ahli hadits, karena posisi hadits Nabi saw dan posisi salaf yang saleh yang sangat penting di tengah-tengah kaum Sunni.


    Setiap golongan mengklaim dirinya sebagai pengikut ahli hadits dan salaf yang saleh, dan memvonis pihak lain telah menyimpang dari mainstream ahli hadits dan salaf.Dari sini, dapat difahami bahwa pernyataan kelompok-kelompok yang anti madzhab, yang mengklaim dirinya sebagai pengikut ahli hadits, sedangkan kelompok lain yang bermadzhab, baik dalam hal akidah maupun dalam hal fiqih, dianggapnya sebagai pengikut ahli bid'ah dan keluar dari madzhab ahli hadits, tidak dapat dibenarkan, karena berdasarkan realita yang ada, ahli hadits sendiri tidak memiliki madzhab tertentu yang menyatukan paradigma mereka, baik dalam hal fiqih maupun dalam hal akidah. Justru dalam realita yang ada, mayoritas ahli hadits dalam hal fiqih mengikuti salah satu madzhab yang empat dan dalam hal akidah mengikuti madzhab al-Asy'ari dan al-Maturidi. Bahkan tidak sedikit pula di antara ahli hadits yang mengikuti ajaran kaum shufi sebagaimana dapat dibaca dalam banyak literatur seputar biografi dan sejarah ahli hadits. Hal ini seperti dapat dilihat misalnya dalam kitab Hilyah al-Auliya', karya al-Hafizh Abu Nu'aim al-Ashfihani, seorang ulama shufi yang pakar hadits terkemuka pada masanya.

    Sebagai catatan akhir, di antara ahli hadits yang mengikuti madzhab al-Syafi'i adalah al-Imam al-Bukhari, Muslim, al-Nasa'i, Ibn Khuzaimah, al-Ajurri, al-Daraquthni, al-Lalikai, al-Hakim, al-Baihaqi, Abu Nu'aim, al-Sam'ani, Ibn Asakir, Ibn al-Shalah, al-Nawawi, al-Mizzi, al-Dzahabi, Ibn Katsir, al-Alai, al-Iraqi, Ibn Hajar, al-Sakhawi, al-Suyuthi dan lain-lain.

    Mayoritas ahli hadits mengakui adanya bid'ah hasanah, menerima hadits dha'if dalam amal-amal yang utama, meyakini barokah para wali dan orang saleh, menganjurkan ziarah ke makam para wali dan orang saleh, membolehkan bertawassul dengan para nabi dan wali, mengikuti tarekat-tarekat shufi, membolehkan maulid nabi, meyakini sampainya pahala yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia, dan atribut-atribut Ahlussunnah Wal-Jama'ah lainnya. Hal ini sebenarnya merupakan hal yang aksioma, mudah dibaca dalam literatur sejarah dan biografi pada ulama. Wallahul muwaffiq. Sumber aswaja-nu.com

    الملك فيصل أنشأ منظمة المؤتمر الإسلامي وأقر الندوة العالمية للشباب الإسلامي لتحقيق التضامن بين أبناء الأمة

    الرياض: بدر الخريف – الشرق الاوسط-
    وضع الملك فيصل بن عبد العزيز تحقيق مفهوم التضامن الإسلامي ضمن جهوده وإسهاماته امتدادا للدور الذي قام به الملك عبد العزيز وأبناؤه في خدمة هذا المطلب وتفعيله وجعله حقيقة واقعة، حيث ساهم قيام الدولة السعودية ومجيء الملك المؤسس في إحياء هذا الأمل الذي كان هاجس المسلمين على مر التاريخ ابتداء من عصر الخلفاء الراشدين مرورا بالدولة الأموية والدولة العباسية والدول الإسلامية التي ظهرت على مسرح الأحداث في فترات من تاريخ الأمة، مرورا بجهود علماء المسلمين في العصور المختلفة. ولعل أبرزهم ابن تيمية وصلاح الدين الأيوبي والعز بن عبد السلام والظاهر بيبرس، والشيخ محمد بن عبد الوهاب وجمال الدين الأفغاني ومحمد عبده ومحمد اقبال وغيرهم، وهي جهود ظهرت وكانت سائدة في ربوع الدولة الاسلامية من أقصاها الى أقصاها على كل المستويات العلمية والعسكرية والسياسية والاقتصادية. وشكل التضامن الإسلامي والالتفاف المتحد حول كلمة التوحيد أهم أسباب النجاح الذي حققته الأمة الإسلامية في عصورها الذهبية، كما شهدت الأمة عندما شعرت بالأخطار المحدقة بها ورأت الفرقة والشتات وذاقت آثار الحروب، دعوات أطلقها المخلصون من أبناء الأمة من السياسيين والعلماء الى ضرورة إحياء التضامن الاسلامي والوقوف في وجه أعداء الأمة والدفاع عن الاسلام ومكتسباته.
    ويعد الملك فيصل الرائد الحقيقي للتضامن الاسلامي في العصر الحديث، حيث كان مقتنعا بالتضامن فكرة ومنهجاً، وتوافرت لديه آليات تطبيق التضامن الإسلامي، فأخذ يسعى حثيثا لترسيخ قواعده وإقناع الآخرين به، مما دفع مشروع التضامن الإسلامي الى الأمام وجعله الخيار الأفضل الذي يتفق مع ثوابت الأمة ومنهاجها.
    وتمكن الملك فيصل، الذي حكم بلاده من عام 1964 الى 1975م، من تسجيل مواقف مشرفة له في خدمة القضايا العربية والإسلامية، حيث أسهم في لم شمل العرب بعد هزيمة 1967، ووقف موقفا حازما فيما يتعلق بحرق المسجد الأقصى، كما أنه أول من استخدم سلاح النفط في وجه المعادين للحق العربي والإسلامي في فلسطين وغيرها. وقد هابه الغرب ونفذ كثيرا من مطالبه العادلة.
    اعتبر الدكتور مانع بن حماد الجهني، الأمين العام للندوة العالمية للشباب الإسلامي، وعضو مجلس الشورى السعودي سابقاً في رصده لفكرة وتاريخ التضامن الإسلامي ودور السعودية في ذلك، أن مشروع التضامن الإسلامي كان الهم الكبير الذي شغل الملك فيصل طوال حياته السياسية، ولاسيما بعد ان اشتدت حملة الأفكار المستوردة في المنطقة العربية خاصة الشيوعية، مشددا على أن الملك فيصل كان مؤمنا أعمق الإيمان بأن الأمة الاسلامية لا ينهض بها إلا الإسلام، ولقد تحمل في سبيل دعوته للتضامن الاسلامي عداوة المعارضين وتهم المشككين، ولكنه كان مؤمنا بما يفعل، ماضيا فيما يعتقد.

    يقول صلاح الدين المنجد في كتابه أحاديث عن فيصل والتضامن الإسلامي: «لقد كان فيصل بطل الدعوة إلى التضامن الإسلامي، ولقد لقي في دعوته هذه مصاعب لا تحد، ومتاعب لا توصف، لكنه كان مؤمنا حقا فيما يدعو إليه. ما كان يبغي زعامة ولا شهرة، ولا سلطانا ولا ثروة، فتابع سيره في دعوته بذكاء وحذر، وجرأة وعناد، وحكمة ومرونة، حسب الظروف، واستطاع أن يبلغ هدفه وأن ينتصر».
    وقد ذكر الدكتور المنجد أن ما حققه الملك فيصل ـ رحمه الله ـ في دعوته للتضامن الاسلامي يرقى إلى مصاف المعجزة الجديدة، حيث يقول: «وفي هذا القرن بدأت معجزة جديدة تحققت على يد رجل عظيم، المعجزة هي كسر القيود التي كانت تمنع المسلمين في كل مكان في العالم، من العودة إلى ما أمرهم به الإسلام من التعارف والتآلف، والتضامن والتعاون، والسعي إلى عودتهم أمة واحدة تعود من جديد خير أمة، وأقوى أمة وأنفع أمة، أما الرجل فهو فيصل بن عبد العزيز».
    منطلقات دعوته للتضامن الإسلامي
    * لقد رأى الملك فيصل أن الأمة الإسلامية لا يمكن أن تنهض وتتحقق لها العزة والكرامة، إلا من خلال عودة حقيقية الى منابع الاسلام الصافية، كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم والى ما تدعو اليه هذه المنابع من التزام بالإسلام وتضامن بين المسلمين وتعاون على البر والتقوى لما فيه خير الاسلام والأمة الاسلامية.
    ولذا كانت دعوة الملك فيصل امتدادا للدعوات الإصلاحية التي تدعو إلى العودة إلى الإسلام وتطبيقه في مناحي الحياة كافة. فالأساس الأول لدعوة الملك فيصل للتضامن الإسلامي هو كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم والعودة إلى الإسلام من جديد.
    . أما المنطلق الثاني لدعوة التضامن الإسلامي فكان الرغبة الأكيدة في صد الفكر الشيوعي الذي اكتسح المنطقة العربية والاسلامية ووجد مؤيدين ومدافعين بين حكام العرب والمسلمين الذين لم يروا في الاسلام ما رأوا في الشيوعية. ورأى الملك فيصل أن عليه أن يطرح الإسلام والتضامن بديلا عن الدعوات الاجنبية التي تتعارض مع دين الامة وفكرها وطبيعتها.
    أما المنطلق الثالث لدعوة فيصل للتضامن الاسلامي فكانت رغبته الأكيدة في جمع كلمة الأمة الاسلامية على الإسلام وقيام جبهة إسلامية موحدة تقف في وجه الاستعمار والصهيونية العالمية ومطامعها في العالم العربي، وكذلك الوقوف في وجه الزحف الشيوعي الذي يريد أن يحصل على مواقع استراتيجية في العالم الإسلامي ينفذ من خلالها سياسيا واقتصاديا وايديولوجيا إلى مراكز الحضارة الاسلامية في أنحاء العالم. ولقد أدرك دعاة هذه الثلاثة: الاستعمار والصهيونية والشيوعية خطر دعوة التضامن الإسلامي فكانوا أبرز أعدائها. وقد حذر الملك فيصل في أكثر من خطبة من هذه المخاطر، وأوضح العلاقة بين الشيوعية والصهيونية في أكثر من مناسبة، فقد قال في خطبته في موسم حج عام 1390هـ: من هم أيها الأخوة قادة الشيوعية الذين حملوا لواءها وبثوا معتقداتهم في العالم؟ إنهم ايها الإخوة كلهم من الصهيونيين الذين خططوا وسعوا إلى تحطيم البشرية وتهديدها ليصلوا الى مبتغاهم، وهو السيطرة على العالم.
    وقد حدد الشيخ مناع القطان بواعث دعوة الملك فيصل إلى التضامن الإسلامي في أمور عديدة في مقدمتها:
    * الباعث الديني: انطلاقا من تربية الملك فيصل وثقافته وقناعته الفكرية والايمانية بأن الاسلام هو سبيل النجاة للمسلمين في كل زمان ومكان.
    * مواجهة التيارات والشعارات المبددة لآمال الأمة: أصبحت المنطقة العربية مرتعاً خصباً لعدد من الأفكار المستوردة والدعوات المناوئة للاسلام فصمم فيصل على مواجهتها بالتضامن الاسلامي.
    * الرغبة في جمع شتات المسلمين لاسترداد حقوقهم ودرء الأخطار المحدقة بهم. لقد رأى الفيصل أن في التضامن جمعاً لكلمة الأمة وتوحيداً لشتاتها وتقوية لضعفها والوقوف في وجه أعدائها.
    ولا شك أن هذه هي المنطلقات الصحيحة التي ينبغي أن تنطلق منها الدعوات العظيمة التي يمكن أن تستجيب لها الأمة وتحقق من خلالها أهدافها التي تسعى اليها.
    خطوات عملية لتحقيق التضامن
    * لقد كان إيمان الملك فيصل بأهمية التضامن والتعاون بين المسلمين راسخاً حتى قبول توليه الحكم. كما يشهد بذلك كل من تتبع مسيرته واتصل به عن قرب. وعندما بدأ فعلاً بتنفيذ مشروعه للتضامن الاسلامي سار فيه بالتدريج على ثلاث مراحل:
    ـ المرحلة الأولى: تمثلت في الدعوة الى التضامن الاسلامي وتأكيد أهمية التعاون بين المسلمين وانه هو السبيل الى تكامل الدول الاسلامية والتخلص من هيمنة: الاستعمار والصهيونية والشيوعية، وقد وجدت هذه الدعوة صدى لدى الكثيرين في العالم الاسلامي
    خصوصا بين رجال الدعوة والفكر. وكان الملك فيصل يعرض دعوته في كل مناسبة ولا سيما في موسم الحج. ومع ذلك فقد وجدت معارضة شديدة من أعداء التضامن الإسلامي الذين حددهم «بأنهم الاستعماريون واليهود والصهيونيون والشيوعيون» و«اذنابهم من المخدوعين والمأجورين في العالم الاسلامي».
    ـ المرحلة الثانية: تمثلت هذه المرحلة في برنامج الزيارات المكثف الذي قام به الملك فيصل، فقد اقتنع بأن فكرة التضامن الإسلامي اصبح لها مؤيدون وانها فكرة يمكن اقناع صانعي القرار في العالم الاسلامي بأهميتها. ولكن ذلك يحتاج الى اتصال شخصي وحوار مباشر مع حكام الدول الاسلامية وهكذا بدأت رحلات الملك فيصل المتعددة لدول العالم الاسلامي لكسب مؤيدين وأنصار لفكرة التضامن الاسلامي. وقد شملت رحلات الملك فيصل كثيرا من الدول الاسلامية، فقد قام برحلة في أواخر عام 1965م والنصف الأول من عام 1966م شملت الدول الآتية:
    ـ إيران عام 1965 وزار في طريق عودته دولة الكويت، وفي عام 1966 زار كلا من الاردن والسودان وباكستان وتركيا والمغرب وغينيا ومالي وتونس.
    أما رحلة الملك الثانية الطويلة فقد كانت إلى افريقيا في عام 1972م وقد شملت اوغندا وتشاد والسنغال وموريتانيا والنيجر.
    ويلاحظ انه في كل هذه الزيارات كانت تصدر بيانات مشتركة يركز فيها على أهمية التضامن الإسلامي والتعاون بين الدول الاسلامية حتى في الدول العلمانية أو الشيوعية في ذلك الوقت، كما حصل في تركيا وغينيا. ولا شك أن في هذا نصرا لفكرة التضامن الاسلامي ونجاحا لسعي الملك فيصل في اقناع رؤساء الدول الإسلامية بأهمية التضامن الاسلامي والتعاون بين الدول الاسلامية.
    ـ المرحلة الثالثة: من برنامج الملك فيصل للتضامن الإسلامي تمثلت في الخطوات العلمية التي وضعت القواعد الصلبة لمؤسسات التضامن الإسلامي حيث دعا لعقد المؤتمرات التي ناقشت الفكرة وتمخضت عن عقد مؤتمر قمة نتج عنه انشاء منظمة المؤتمر الإسلامي، وكان من انجازات هذه الرحلة انشاء الندوة العالمية للشباب الإسلامي وغيرها من المؤسسات التي تدعم فكرة التضامن الإسلامي ومن ابرزها رابطة العالم الاسلامي التي انشئت في عهد الملك سعود بقرار من قادة المسلمين الذين اجتمعوا خلال المؤتمر اسلامي في عام 1962م في مكة المكرمة بواكير التضامن حقيقة واقعة
    * لقد كان لجهود الملك فيصل وايمانه الذي لا يتزعزع بأهمية التضامن الاسلامي وضرورة السعي الى تحقيقه نتائج باهرة على المستويين العربي والإسلامي تحققت تدريجيا من الخطوات التدريجية التي اتبعها لتحقيق هدفه الكبير. فقد بدأ بالدعوة والتعريف بالتضامن وأهميته وضرورته للأمة الاسلامية ثم أتبع ذلك بزيارات متعددة لرؤساء الدول الاسلامية. وبعد ذلك بدأ بالخطوات التنفيذية التي جعلت بواكير التضامن حقيقة ملموسة ومن أهم تلك النتائج:
    ـ توضيح مفهوم التضامن الاسلامي وإبراز آثاره الايجابية وايجاد القناعة بأنه السبيل الوحيد للنهوض بالأمة الاسلامية وتحقيق التعاون المثمر بين بلدانها واشاعة روح الوحدة والمحبة بين شعوبها. وقد سبق أن خفتت الدعوة الى التضامن الاسلامي والوحدة الاسلامية بعد الرواد الاوائل من امثال جمال الدين الافغاني ومحمد اقبال وعبد الرحمن الكواكبي وغيرهما فأحياها الملك فيصل على مستوى أعلى وبزخم أشد وعرضها بديلا مناسبا من الدعوات المضللة التي اجتاحت المنطقة العربية. وقد تجاوز الملك فيصل في دعوته نطاق الدول العربية الى الدول الاسلامية في القارتين الاسيوية والافريقية.
    ـ كسب أعوان ومؤيدين لمشروع التضامن الاسلامي وأهمية التعاون بين الدول الاسلامية وبناء جسور للتفاهم والسعي المشترك لتحقيق الاهداف التي يسعى اليها في خدمة الأمة الاسلامية.
    ـ تعزيز موقف الدول العربية وحشد التأييد لقضية فلسطين قضية المسلمين الاولى، وقد اسفرت بعض الزيارات عن قطع علاقات بعض الدول التي زارها الفيصل مع اسرائيل مما يدل على نجاح مساعيه.
    ـ القيام بالخطوات التنفيذية لعقد أول مؤتمر اسلامي لوضع الأسس التي دعا اليها الفيصل. وقد سبق للرئيس الصومالي ان قدم اقتراحا الى مؤتمر العالم الاسلامي الذي عقد في مقديشو أواخر عام 1964م لعقد مؤتمر قمة اسلامي للنظر في شؤون المسلمين وتوحيد جهودهم، وتبنى المؤتمر هذا الاقتراح وأيد الملك فيصل الدعوة مجددا في اجتماع الدورة الثاني لرابطة العالم الاسلامي في 17/4/1965م في مكة المكرمة حيث قال: «اننا نؤيد الدعوة الى مؤتمر قمة اسلامي ليكون في مقدور أعلى قمة اسلامية ان تبحث في قضايا المسلمين وتقرر امورهم». وقد أكدت هزيمة 1967م ثم حرق المسجد الاقصى أهمية الدعوة الى مؤتمر القمة، فجاءت الدعوة مجددا إلى عقد مؤتمر قمة في الرباط وعقد فعلا في 12 سبتمبر 1969م، وحضرته حوالي 23 دولة. وقد احتوى البيان الختامي على بعض الفقرات التي تدعم التعاون والتضامن الاسلامي منها: «ايمانا منهم بأن وحدة عقيدتهم الدينية هي عامل قوي لتقارب شعوبهم وتفاهمها، وتعبيرا عن ايمانهم الراسخ بتعاليم الاسلامي التي أرست قاعدة المساواة التامة في الحقوق بين جميع البشر، يعلنون ما يلي: ستتشاور حكوماتهم بغية التعاون الوثيق والمساعدة المتبادلة في الميادين الاقتصادية والعلمية والثقافية والروحية، وحيا من تعاليم الاسلام».
    وقد اجتمعت لجان المتابعة، ثم اجتمع وزراء خارجية الدول الاسلامية في جدة، حيث وافقوا على إنشاء امانة عامة للدول الاسلامية لتنسيق الأمور بين الدول الاسلامية. ووافقت على المشروع 17 دولة واعترضت عليه مصر والسودان وليبيا. وهاجم وزير خارجية مصر آنذاك محمود رياض مشروع تأسيس الامانة. وقد وضع ميثاق للمؤتمر الاسلامي الذي صدق عليه وزراء الخارجية في اجتماعهم الثالث في جدة بتاريخ 9 يناير 1973م. وفي اغسطس 1974 اجتمع وزراء مالية الدول الاسلامية وأقروا مشروع اتفاقية البنك الاسلامي للتنمية.
    وتلا ذلك انشاء عدد من الهيئات المنبثقة عن منظمة المؤتمر الاسلامي التي حاولت ان تضع الاسس للتعاون بين الدول الاسلامية في عدد من المجالات المهمة.
    ـ في اطار تفعيل التضامن الاسلامي أنشأ الملك فيصل في عام 1972م، بالاضافة الى منظمة المؤتمر التي تسعى لتحقيق التضامن الاسلامي على المستوى الرسمي بين الدول الاسلامية، الندوة العالمية للشباب الاسلامي لتحقيق التضامن بين المراكز الاسلامية والجاليات المسلمة في الدول غير الاسلامية وتقديم العون والمساعدة لهم، وكان ذلك في اثناء موسم الحج حيث عقد مؤتمر لمناقشة قضايا العالم الاسلامي. وبعد ذلك بحوالي عشر سنوات وايمانا من الفيصل بأهمية الشباب ودوره في نهضة الأمة وضرورة ان ينشأ على الاسلام والتضامن الاسلامي، انشئت الندوة العالمية للشباب الاسلامي عام 1392هـ /1972م لتحقيق التضامن الاسلامي بين شباب الأمة المسلمة وتقديم الخدمات لابناء المسلمين في انحاء العالم وتنسيق جهود المنظمات الشبابية والطلابية لتقوية الأمة الاسلامية وتعزيز وحدتها والارتباط فيما بين شعوبها واقطارها.
    وعلى الرغم من أن التضامن الاسلامي الكامل لم يتحقق بعد، فان انجازات الملك فيصل وضعت الأسس ومهدت السبيل للخطوات القادمة. وقد ظل حتى استشهاده يرعى التضامن الاسلامي ومؤسساته ويقدم كل ما يستطيع لتفعيل دورها والوصول بها الى المستوى المطلوب.

    A. PENDAHULUAN

    Suatu hal yang perlu mendapat catatan dalam dunia pepolitikan Nabi Muhammad SAW dalam praktiknya baik mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin Negara Madinah merupakan sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah penting.Namun satu hal lagi mengenai Piagam Madinah yang menjadi sebuah kostitusi di era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan agama negara.
    Dengan berbagai macam pikiran politik yang akan dibahas kali ini sekiranya kita dapat mengetahui beberapa pandangan – pandangan masing – masing kelompok sehingga dapat menemukan apa inti dari pemikiran berbagai kelompok ini.

    B. PEMBAHASAN
    PEMIKIRAN POLITIK SUNNI

    Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat pro kepada pemerintah yang berkuasa.Pemikiran – pemikiran dari ahli – ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan.Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan , namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipresentasikan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.

    Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik daripada sehari hidup tanpa pemimpin.Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba – hamba pilihan – Nya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali adalah muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat. Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak – hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu

    Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa – penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa erajat.Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan – Nya kepadamu.Sesunguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan – Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.(QS.Al – An’am, 6:165).

    Hai orang –orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu.Kemudian jika berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al – Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar – benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS.Al – Nisa’,4:59).
    Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Ia telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumi – Nya.Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka.Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al – Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan, dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i, menurutnya, mustahil ajaran – ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.
    Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum – hukum Tuhan.Sebagai konsekwensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.
    Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa.Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al – Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.
    Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.
    Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.
    Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.

    PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH
    Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini.Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam , selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali , para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah , yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al – Nadwa di Madinah , dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at – Tahkim atau arbitasi.Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.
    Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.

    Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam:
    1. Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
    2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.
    3. Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan syari’at.
    4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
    Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi.Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya menetapkan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi.
    Iqbal menulis, secara sosio – politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor.Pertama, imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi.Merek tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam.Sebagian pemimpin yang ide.Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.
    Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:pertama: Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.Kedua:Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.Ketiga: diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
    Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu: Zaidiyyah, Ismailiyyah (Sab’iyyah), dan Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah).
    Sebelum membahs lebih lanjut sebaiknya mengetahui nama – nama masing imam dalam tubuh Syi’ah:
    1. Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.
    2. Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
    3. Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al – Kadzim, Ali al – Ridho, Muhammad al – Taqi’, Ali al – Hadi, Hasan al – Askari, Muhammad al – Mahdi.
    Untuk memperjelas paham syi’ah ini perlu dikethui ad beberapa paham yang berkembang diklangan mereka dan mengalami perbedaan – perbedaan, an untuk mempermudah alam permahaman kelompok atau sekte dalam tubuh Syi’ah ini dapat kita lihat di bagan berikut:

    PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ

    Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.
    Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok.
    Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah.Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.
    Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak – hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al – Ghazali, al – Juwaini, al – Asqolani, al – Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah.Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran – aliran Khawarij.
    Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
    Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
    Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah – masalah mereka.Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
    Keempat, orang yang berdosa adalah kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
    Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduuki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab.Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagi seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas – tugas pemerintahan, hal ini menujukkan kedemokrasian klompok ini.

    PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH
    Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.
    Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa dalam referensi lain disebutkan orang yang berbuat dosa besar. Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.
    Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.
    Abd al – Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.

    C. PENUTUP
    Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam Islam.Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok Sunni.Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyah.Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.
    Dengan mengetahui pemikiran politik masing – masing golongan ini semoga kita paham apa arti sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan – perbedaan.

    DAFTAR PUSTAKA
    Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Persada, 2001.
    Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
    Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.
    Redaksi Ensiklopedi Islam Ringkas, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Januari 1999, jilid keenam.
    Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan kedua.
    Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
    Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996, cetakan kesatu.s

    MAKALAH FIQH SIYASAH

    PEMIKIRAN POLITIK SUNNI, SYIAH, KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

    DOSEN PEMBIMBING

    DRS. WAHYU PURWOWITANTO

    DISUSUN OLEH
    ACHMAD NAUFA KHOIRUL FAIZUN
    MUHAMMAD GIE YONO

    FAKULTAS SYARIAH JURUSAN MUAMALAH
    SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI (STAIAN) PURWOREJO
    TAHUN AJARAN 2008-2009