Showing posts with label Jihad. Show all posts
Showing posts with label Jihad. Show all posts
Oleh: Ust. Abu Bakar Ba’asyir
  “ Zaman sekarang, kita benar-benar terjebak dalam krisis amal jama’i.  Betapa susahnya menemukan mereka yang mendapatkan barokah dengan bersikap tenang dalam ketaatan terhadap Amir, serius dan tanpa banyak bicara, tetap teguh pada tugas yang telah diprogramkan.  Bersikap waspada, banyak diam, sembari terus berlatih dan tidak terpengaruh situasi global hingga tujuan mereka tercapai.  Sikap semacam inilah yang seharusnya dimiliki para mujahid dan ahluddin hari ini”. (Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisy)
Dalam sebuah ayat Allah berfirman:
 “ Sesungguhnya, Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. “ (Ash Shaff: 4)
Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan pentingnya pasukan jihad yang teratur dan terkendali.  Dalam berbagai kitab tafsir disebutkan bahwa arti penting pasukan jihad yang terkoordinasi dengan baik terbagi dalam dua aspek;
Pertama         : Adanya dalil-dalil dari nash syar’i itu sendiri
Kedua            : Tuntutan kondisi kaum muslimin yang mengharuskan untuk mengambil sebab datangnya pertolongan Allah, yakni kekuatan, kekokohan dan keteguhan.
Aspek kedua muncul karena hari ini musuh umat Islam -baik itu Negara atau organisasi- telah berupaya maksimal dalam menghadapi kaum muslimin.  Mereka benar-benar membekali diri dengan kekuatan yang terorganisir dan terprogram, baik dari segi persenjataan, media, kekuatan personal dan sebagainya.
Sebaliknya, tidak sedikit kaum muslimin justru bersikap ceroboh ketika menghadapi musuh.  Hal ini sangat tampak ketika mereka hanya menggunakan bekal yang begitu terbatas, persiapan yang lemah dan penuh dengan ketergesaan, gerakan yang terpecah belah dan sendiri-sendiri, yang berakhir dengan terjadinya fitnah dan kerusakan yang dahsyat yang antara lain berupa hilangnya kebenaran dalam kehidupan masyarakat.
Mengapa demikian? Karena kecerobohan dalam berbagai aksi jihad yang dilakukan justru memberi kesempatan bagi thaghut untuk menghinakan Syari’at Islam dan menghapuskan jihad dari otak – benak kaum muslimin, dengan cara menangkapi para aktivisnya, memberikan citra buruk terhadap jihad dan mujahidin serta mengumumkan bahwa Islam adalah agama teror yang hina.
Allah berfirman:
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfal: 73)

Jihad adalah Amal Jama’i
Meskipun jihad seorang diri termasuk jihad yang dibenarkan dan dapat mengantarkan pelakunya kepada mati syahid, tapi bukan berarti kita lantas mengabaikan manajemen sebuah peperangan yang telah dikendalikan oleh sebuah jama’ah.
Adapun alasan syar’i mengenai hal ini, adalah sebagaimana yang tercantum dalam ayat di atas dan bahwa Allah telah memerintahkan kaum muslimin agar mempersiapkan kekuatan yang benar-benar cukup.  Dalam rangka, memberikan rasa takut pada orang-orang kafir dan murtad.
Allah berfirman:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).(Al Anfal: 60)
Berdasarkan ayat di atas, seluruh kaum muslimin WAJIB menempuh semua sebab-sebab kekuatan dan berusaha keras untuk meraih kemenangan materi dan maknawi, sehingga dapat menakuti musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kaum muslimin baik itu orang-orang kafir maupun munafik.
Adapun metode syar’i untuk meraihnya adalah dengan; Al-Jama’ahSistem Organisasi yang baikPerencanaan yang rapi,Kepemimpinan yang kuat dan Ketaatan syar’i. Kelima unsur tersebut merupakan hal yang sifatnya darurat untuk segera dipenuhi dalam i’dad yang sesuai dengan syar’i.
Rasulullah n bersabda, “Aku memerintahkan kalian dengan lima hal yang Allah telah perintahkan aku dengannya: Mendengar dan Taat, Jihad, Hijrah dan Jama’ah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Demikianlah karakter jama’iyah dari Tha’ifah Manshurah.  Hari ini mereka ada, yaitu mereka yang berjihad di zaman ketika tidak adanya kekhilafahan hingga menjelang kiamat, yakni ketika seluruh nyawa orang mukmin dicabut dengan angin harum dari Yaman.
Sifat tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits seputar keberadaan mereka yang sifatnya mutawatir yang berarti menunjukkan keberadaan mereka dan keberlangsungannya hingga akhir zaman.
Rasulullah n bersabda, "Akan senantiasa ada di antara ummatku suatu kelompok/jama’ah yang tampil membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menelantarkan (tidak menolong) mereka sehingga datang ketetapan Allah, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian." (HR. Muslim)

Dr. Abdullah Azzam berkata, Jihad adalah Ibadah Jama’iyyah yang tidak akan terlaksana, kecuali dengan adanya jama’ah yang berhadapan dengan masyarakat jahiliyyah atau masyarakat kafir.  Oleh sebab itu jihad tidak akan diwajibkan di Mekah karena lemahnya kaum muslimin, sedikitnya jumlah mereka dan ketidaksanggupan mereka untuk menghadapii jahiliyyah yang mengandalkan kekuatan dan jumlah.
Adapun selama jihad itu merupakan ibadah jama’iyyah, maka yang memegang perkara ini haruslah amirul jama’ah, dan dialah yang mengumumkan jihad. (I’lanul Jihad, Dr. Abdullah Azzam, hlm.8)
Dengan demikian, apakah masuk akal jika thaifah mansurah melaksanakan kewajiban jihad dengan sendiri-sendiri tanpa bentuk jama’ah yang berpijak di atas prinsip As Sam’u wat Tha’ah? Marilah kita simak sejarah Rasulullah n dan para sahabatnya, ketika mereka belum memiliki daulah islam. Apakah mereka bergerak dalam dakwah sendiri-sendiri tanpa adanya jama’ah dan ketaatan pada Rasulullah n, ataukah mereka bergerak dalam jama’ah yang rapi dan ketaatan terhadap Amir?
Rasulullah SAW bersabda, “Hendaknya kalian mengikuti Al Jama’ah dan jauhilah perpecahan, karena sesungguhnya syaithan itu bersama satu orang, dan dia lebih jauh dari dua orang.  Barang siapa yang menginginkan intinya surge hendaknya mengikuti Al Jama’ah” (Hukmul Islam fi Ad Dimuqratiya waa Ta’adudiyyah Al Hizbiyyah: 174)
Setelah menjelaskan tentang salah satu sifat Ath Thaifah Al Manshurah, syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah memberikan peringatan bahwa meskipun jihad fie sabilillah adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim ketika tidak ada khilafah, hendaknya mereka tidak melaksanakannya secara perorangan (individu).
Karena jihad merupakan ibadah jama’I dan akan menimbulkan madharat (bahaya) jika amal jama’i ini dilakukan secara perorangan.  Oleh sebab itu, antar harakah jihadiyah wajib melakukan koordinasi yang sinergis demi melaksanakan kewajiban ini. (Shifatu Ath Tha’ifah Al Manshurah Allati Yujibu An tukatsira Sawadaha Shifat II: Al Jihad Fi Sabilillah)

Tetaplah Bersabar di Jalan Allah
Sesungguhnya, jihad adalah jalan tercepat untuk menuju jannah.  Betapa tidak, rasa takut yang mengguncang dada mujahidin dalam sebuah pertempuran dapat menggugurkan dosanya, juga setetes darah pertama yang menetes ke bumi dari seorang mujahid yang ikhlas dan mengharap agar ia dilihat Allah, benar-benar dapat menghapus segala dosa yang ada padanya tanpa terkecuali.
Namun menunaikan jihad fii sabilillah juga harus memperhatikan konteks riil lapangan dan adanya tingkatan kemampuan sehingga ia betul – betul tegak diatas nilai dan kaedah yang syar’I serta terbebas dari dorongan- dorongan emosi semata – mata . Karena itu Ibnul Qayyimrohimahulloh membuat paling tidak ada 13 langkah dalam 4 bagian besar menuju Jihad yang sesungguhnya .
Dalam meniti hal-hal itu , maka kita wajib bersabar sebagaimana firman Allah:


Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. ( QS Ali Imron : 146 )
Dari ayat yang mulia ini , Alloh Azza wa Jalla memberi kriteria sabar dalam tiga perwujudan yakni :
1.      Tidak lemah mental dalam makna tetap bersemangat.
2.      Tidak lesu yang berarti terus menerus beramal shalih. Sebab kesakitan dan pengorbanan ada nilainya di sisi Allah.
Allah berfirman:
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). jika kamu menderita kesakitan, Maka Sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 104)
3.      Tidak menyerah yang menunjukan keteguhan sikap Mujahid yang hanya bersemboyan hidup mulia atau mati syahid.
Allah berfirman:
Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas, dan Allah pun bersamamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. (Muhammad: 35)
Terkait dengan jihad dalam satu shaf perjuangan yang rapi dan kokoh  maka bagi setiap anggota JAMA’AH ANSHARUT TAUHID, ingatlah bahwa kita tengah beramal jama’i.  Sudah seharusnya, masing-masing kita menepati janji ( mu’ahadah ) yang kita ucapkan dan tidak melanggarnya.
Sudah seharusnya kita menyadari bahwa jika  jihad pada suatu ketika menjadi fardhu ‘ain sedangkan melaksanakan syari’at al jama’ah juga fardhu ‘ain pada setiap masa, sehingga tidak selayaknya kita kemudian membatalkan salah satu diantara keduanya demi melaksanakan jihad secara sendiri-sendiri. Karena sesungguhnya, jihad adalah amal jama’i yang fardhu ‘ain.
Memang ada fenomena aneh yang berkembang, ketika seseorang membolehkan bahkan memprovokasi agar seorang Mujahid tidak perlu mematuhi Amir Jama’ahnya untuk berjihad tapi ia sendiri menuntut untuk dita’ati oleh orang yang diprovokasinya.
Jadi ia menyuruh orang bermaksiat kepada Amir agar tha’at pada kemauannya sendiri. Akhirnya, rusaklah jama’ah yang dimana seseorang telah bermu’ahadah itu, celakanya lagi , orang itu telah merasa beramal sholeh dengan merusak jama’ahnya
Oleh karena itu, kita wajib bersabar dalam jama’ah untuk melaksanakan dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad secara semesta, demi menegakkan Syari’at Islam di bumi Allah.
Wajib atas kita bersabar ketika menghadapi kesempitan yang menghadang, ketika semua manusia memfitnah dan memburuk-burukkan aktifitas memperjuangkan Islam dalam sebuah amal jama’i demi tegaknya Syari’at Islam dengan dakwah dan jihad.
Wajib atas kita untuk bersabar, ketika semua manusia menimpakan penderitaan.  Karena sesungguhnya, tidaklah mereka mampu menimpakan penderitaan kecuali atas izin Allah dan sesungguhnya godaan iblis dan pengikutnya itu sangatlah lemah di hadapan seorang mujahid yang betul-betul beriman.
Juga wajib atas kita nantinya, untuk bersabar dalam pertempuran.  Terutama ketika Allah telah menakdirkan kita terjun di suatu daerah perang dan telah berhadap-hadapan secara langsung dengan musuh, yakni dengan tidak mundur ke belakang.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, Maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka jahannam. dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal: 15-16)
Maka hendaknya kita mampu bersabar untuk tidak beraksi di daerah aman yang bukan wilayah perang terbuka.
Bersabarlah! Karena sesungguhnya sifat Tha’ifah Al Manshurah adalah bersabar dalam dakwah dan jihad. Sehingga Allah Ta’ala menakdirkan datangnya pertolongan dari sisiNya  kepada kaum muslimin secara keseluruhannya. Insya Alloh berjama’ah dalam ketho’atan jauh lebih barokah dan lebih berpeluang untuk menyongsong Nashrullahu Ta’ala . www.ansharuttauhid.com
" Media massa dan elektronik cenderung tertarik pada peristiwa yang paling dramatis dan sensasional." (Charles Kimball, Guru Besar Studi Islam di Universitas Wake Forest)
 Sejarah akan senantiasa berulang. Paling tidak demikianlah ulasan ahli komunikasi dari Perancis. Sejarah berulang dalam pola yang serupa dan dalam waktu yang berbeda.
 Ketiga kutipan ini, boleh dikatakan sangat tepat untuk menggambarkan hingar bingar dunia modern yang sejak beberapa tahun terakhir, ketika disulut oleh demam "perang global melawan terorisme."
Bahkan, berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi di Indonesia justru memberikan justifikasi kepada POLRI maupun TNI untuk kembali memeragakan pelanggaran HAM, kebebasan dan tindakan represif kepada rakyat sendiri. Pun, bukan karena keempat kasus tersebut menewaskan beberapa warga sipil pribumi.
Hal ini jelas-jelas melanggar amanat Reformasi 1998 yang menitikberatkan pada kebebasan untuk memeluk keyakinan dan tatanan kehidupan bernegara yang jauh dari penindasan state terrorism  (terorisme oleh negara kepada rakyat), sebagaimana yang telah terjadi pada era Orde Baru-Soeharto.
Karena pelanggaran hukum—apapun itu—sudah selayaknya mendapatkan penanganan yang tepat. Seorang tersangka berhak mendapatkan praduga tak bersalah hingga ia dapat dibuktikan kesalahannya di pengadilan. Bukannya di ruang-ruang gelap interogasi dan penyiksaan yang disiapkan oleh para penyidik kepolisian.
Selain itu, penanganan dan penangkapan para tersangka oleh kepolisian, telah semakin jauh dari citra kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat.
Kepolisian yang sebelumnya terkenal dengan pola penangkapan yang senyap, tenang dan hanya menggunakan senjata ringan dan gas air mata, kini telah disibukkan dengan berbagai parade ledakan granat, bom dan senjata berat demi menghabisi tersangka yang jauh dari proses peradilan.
Bahkan, peradilan yang  disajikan di hadapan kita pun tidak lebih dari peradilan opini dan proses main hakim sendiri yang jauh dari fakta-fakta hukum di meja hijau. Anehnya, media massa yang ada justru berlomba-lomba untuk menjadi sarana penguat arus informasi mainstream yang diciptakan oleh kepolisian. Akibatnya, berbagai kasus human error yang terjadi selama pengungkapan kasus terorisme di negara ini nyaris tak terlaporkan.
Satu hal yang perlu kita waspadai adalah adanya upaya pihak asing untuk menunggangi berbagai peristiwa peledakan di negeri ini, yang telah menewaskan putra-putri terbaik umat Islam. Hal ini jelas menjadikan satu hal yang tidak bisa disepelekan, mengingat sejarah umat Islam di Indonesia sangat erat dengan berbagai konspirasi yang justru menjebak putra-putri umat Islam yang ikhlas dalam agama dan amal.
Masih teringat jelas dalam ingatan para aktivis Islam ketika mereka terjebak dalam operasi “Pancing dan Jaring”, yang dilakukan oleh Jenderal Ali Murtopo dan Jenderal Leonardus Benny Moerdani melalui parade kasus-kasus seperti:
1.      Darul Hadits-Islam Jamaah (LDII) pada tahun 1970
2.      Komando Jihad pada tahun 1976-1981
3.      Jamaah Imran pada tahun 1981
4.      Kasus Teror Warman tahun 1982-1984
5.      Pembantaian Tanjung Priok oleh aparat pada 12 September 1984
6.      Peristiwa Talangsari Lampung 1988-1989
Anehnya, seluruh media massa dan elektronik di seluruh penjuru tanah air seakan berlomba-lomba untuk menyajikan bombardemen berita, dengan efek penyebaran ketakutan yang tak kalah mengerikan dibanding aksi-aksi ‘teror’ yang diperagakan oleh aparat saat penangkapan para aktivis muslim tersebut.
Sampai-sampai provokasi media tersebut berujung pada peringatan keras dari PWI dan berbagai forum media watch lainnya.[1] Ironisnya, aneka peringatan tersebut, seolah hanya angin lalu. Tak ada permintaan maaf, tak ada revisi berita dan bahkan tidak ada upaya kantor-kantor berita tersebut untuk kemudian sedikit memperbaiki pemberitaan yang mereka sajikan.

Siapakah yang Diuntungkan Dalam Aksi ‘Teror’ ini?
Jika kita mau sedikit merenungi perkembangan kasus terorisme di tanah air, tentunya kita akan bertemu dengan pertanyaan besar, “Siapakah yang diuntungkan dengan operasi antiteror ini?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali kita akan segera membuat daftar panjang pihak-pihak yang mengambil untung dari peristiwa tersebut. Mulai dari Kepolisian RI yang kemudian menjadi lembaga superbody, sehingga tidak memerlukan lagi proses pengadilan demi mengeksekusi nyawa seseorang yang masih berstatus tersangka, belum berstatus terdakwa, belum pula berstatus terpidana.
Kemudian juga media massa, yang tampak begitu bernafsu demi menaikkan tiras atau pendapatan iklan dari berbagai berita yang mereka sajikan. Tanpa peduli lagi etika-etika jurnalistik yang seharusnya menjadi doktrin asasi para jurnalis di seluruh dunia.
Selain itu, fenomena menarik lainnya adalah masuknya kembali organ-organ TNI dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan warga negara. Dengan diaktifkannya kembali struktur territorial TNI sampai ke tingkat pedesaan (Babinsa).
Tak ayal, keterampilan komando territorial TNI dalam mengolah isu dan menciptakan situasi pra perang (baca: permusuhan) di masyarakat jauh di atas kepolisian. Sehingga muncullah satu realitas yang aneh: “Penghakiman massa atas jasad para tersangka yang belum melalui proses pengadilan tersebut.”
Hal ini muncul dari berbagai tanggapan aneh, seperti penolakan jasad  para tersangka tersebut untuk dimakamkan di daerahnya. Betapa tidak? Jelas-jelas yang datang ke desa atau tempat pemakaman mereka hanyalah jasad tak bernyawa, tetapi masih juga ditolak pemakamannnya . Sungguh, ini adalah suatu sikap yang sangat tidak mencerminkan budaya masyarakat Indonesia yang tepa-salira dan saling memaafkan.
Demikianlah, kita melihat adanya proses adu-domba antar umat Islam. Pada satu sisi, para tersangka tersebut menyatakan menyelamatkan kepentingan umat Islam dengan melawan agen-agen Amerika di Indonesia. Pada sisi yang lain, masyarakat dan sejumlah ‘ulama’ yang termakan propaganda menyatakan menyelamatkan umat Islam dari keyakinan teroris.
Sebuah politik Devide et Impera yang tak bisa ditolak realitanya. Aroma kepentingan asing (baca: Amerika) sebagai pihak yang mendalangi berbagai  peristiwa tersebut pun semakin menyengat, manakala ditemukan sejumlah bukti bahwa tersangka pendana segala aksi teror di Indonesia yang diklaim adalah Warga Negara Arab Saudi yang bernama Al Khaelawi Ali Abdullah alias Al Khalil Ali alias Ali Muhammad ternyata ber-KTP (keluaran 1999) dan berpassport Amerika!
Bahkan, Mr. Ali Mohamed tersebut pun juga dianggap telah melatih sejumlah teroris dan memberikan sejumlah dana mereka untuk melakukan operasi pembunuhan terhadap SBY, peledakan dan berbagai aksi teror lainnya.
Anehnya, sekaligus aneh bin ajaib! Pihak kepolisian, KBRI dan berbagai pihak yang semestinya bertanggung jawab terhadap hal ini, justru tidak memberikan  keterangan yang semestinya. Yang terjadi justru segala informasi ditutup-tutupi, sungguh sangat bertentangan dengan ide-ide transparansi yang menjadi nafas utama Reformasi di Indonesia.
Sandiwara berikutnya pun sudah pasti bisa ditebak, Ali Mohamed akan di cross-check ke Kedutaan Besar AS di Indonesia. Selanjutnya,  di permukaan kedutaan tersebut tidak akan mengakui bahwa Ali Mohamed adalah warga Amerika, sedangkan secara rahasia Amerika menyelamatkan ‘sang agen’ tersebut dengan mengembalikannya secara rahasia ke Amerika.
Sebuah kenyataan bahwa pemerintah yang ada tengah melakukan operasi ”Pancing dan Jaring” jilid II. Pada saat yang sama mereka memancing para aktivis yang over radikal-dengan keberadaan Ali Mohamed tersebut, untuk kemudian menjaring segala bentuk elemen senafas yang ada di masyarakat meski mereka tidak setuju dengan berbagai peristiwa yang ada di Indonesia.

Penanganan Terorisme = Potret Kegagalan Reformasi
Jika kita renungi, potret penanganan para tersangka teror di Indonesia jelas-jelas menunjukkan kegagalan Reformasi yang telah berjalan lebih dari 11 tahun. Paling tidak hal ini bisa dilihat pada fenomena berikut.
Pertama:  Penanganan ini dilakukan dengan menempatkan kepolisian sebagai lembaga superbody. Padahal jelas, bahwa lembaga kepolisian memiliki catatan korupsi yang telah dimaklumi publik.
Kedua:  Pengaktifkan kembali seluruh unit territorial TNI dalam menciptakan kondisi yang diinginkan kepolisian di kalangan masyarakat awam. Padahal, jika dilihat secara umum, masyarakat awam dan pedesaan bukanlah sasaran para tersangka tersebut, sedangkan yang menjadi sasaran adalah hotel-hotel dan kepentingan milik Amerika.
Ketiga: Tiadanya proses penegakan hukum, tetapi yang ada adalah proses eksekusi yang tanpa melalui jalur hukum yang semestinya. Kepolisian yang ada saat ini tidak lagi menunjukkan sebagai pengayom masyarakat. Tetapi lebih menunjukkan sebagai agen baru militerisme di Indonesia.
Keempat: Tidak adanya transparansi dalam pengungkapan bukti-bukti utama dan saksi-saksi kunci dalam penanganan kasus teror. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Ali Mohamed yang jelas-jelas menjadi aktor utama. Betapa tidak? Tanpa pendanaan dari Ali Mohamed, para tersangka tersebut jelas tidak mungkin melaksanakan aksi teror, sebagaimana yang dituduhkan kepolisian tersebut.
Kelima: Hilangnya fungsi pemerintah sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat, sehingga muncul upaya untuk mengintimidasi segala bentuk ormas-ormas terbuka bentukan rakyat yang telah menikmati udara kebebasan reformasi. Dengan tuduhan sebagai aktor utama pemikiran radikalisme Islam.
Demikianlah realitas yang bisa kita petik dari penanganan kasus terorisme yang ada di tanah air. Sebuah kenyataan yang menunjukkan bahwa kita sudah seharusnya melakukan satu upaya balik untuk menyadarkan masyarakat, bahwa mereka telah dipimpin oleh penguasa korup yang mudah dikendalikan oleh kepentingan asing, sehingga rela mengorbankan rakyat sendiri.


[1] Sebagaimana yang dimuat di sejumlah surat kabar pasca penyerangan Noordin M. Top di Temanggung. www.ansharuttauhid.com