MELACAK JEJAK TERORISME ‘BUATAN’ AMERIKA DI INDONESIA

" Media massa dan elektronik cenderung tertarik pada peristiwa yang paling dramatis dan sensasional." (Charles Kimball, Guru Besar Studi Islam di Universitas Wake Forest)
 Sejarah akan senantiasa berulang. Paling tidak demikianlah ulasan ahli komunikasi dari Perancis. Sejarah berulang dalam pola yang serupa dan dalam waktu yang berbeda.
 Ketiga kutipan ini, boleh dikatakan sangat tepat untuk menggambarkan hingar bingar dunia modern yang sejak beberapa tahun terakhir, ketika disulut oleh demam "perang global melawan terorisme."
Bahkan, berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi di Indonesia justru memberikan justifikasi kepada POLRI maupun TNI untuk kembali memeragakan pelanggaran HAM, kebebasan dan tindakan represif kepada rakyat sendiri. Pun, bukan karena keempat kasus tersebut menewaskan beberapa warga sipil pribumi.
Hal ini jelas-jelas melanggar amanat Reformasi 1998 yang menitikberatkan pada kebebasan untuk memeluk keyakinan dan tatanan kehidupan bernegara yang jauh dari penindasan state terrorism  (terorisme oleh negara kepada rakyat), sebagaimana yang telah terjadi pada era Orde Baru-Soeharto.
Karena pelanggaran hukum—apapun itu—sudah selayaknya mendapatkan penanganan yang tepat. Seorang tersangka berhak mendapatkan praduga tak bersalah hingga ia dapat dibuktikan kesalahannya di pengadilan. Bukannya di ruang-ruang gelap interogasi dan penyiksaan yang disiapkan oleh para penyidik kepolisian.
Selain itu, penanganan dan penangkapan para tersangka oleh kepolisian, telah semakin jauh dari citra kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat.
Kepolisian yang sebelumnya terkenal dengan pola penangkapan yang senyap, tenang dan hanya menggunakan senjata ringan dan gas air mata, kini telah disibukkan dengan berbagai parade ledakan granat, bom dan senjata berat demi menghabisi tersangka yang jauh dari proses peradilan.
Bahkan, peradilan yang  disajikan di hadapan kita pun tidak lebih dari peradilan opini dan proses main hakim sendiri yang jauh dari fakta-fakta hukum di meja hijau. Anehnya, media massa yang ada justru berlomba-lomba untuk menjadi sarana penguat arus informasi mainstream yang diciptakan oleh kepolisian. Akibatnya, berbagai kasus human error yang terjadi selama pengungkapan kasus terorisme di negara ini nyaris tak terlaporkan.
Satu hal yang perlu kita waspadai adalah adanya upaya pihak asing untuk menunggangi berbagai peristiwa peledakan di negeri ini, yang telah menewaskan putra-putri terbaik umat Islam. Hal ini jelas menjadikan satu hal yang tidak bisa disepelekan, mengingat sejarah umat Islam di Indonesia sangat erat dengan berbagai konspirasi yang justru menjebak putra-putri umat Islam yang ikhlas dalam agama dan amal.
Masih teringat jelas dalam ingatan para aktivis Islam ketika mereka terjebak dalam operasi “Pancing dan Jaring”, yang dilakukan oleh Jenderal Ali Murtopo dan Jenderal Leonardus Benny Moerdani melalui parade kasus-kasus seperti:
1.      Darul Hadits-Islam Jamaah (LDII) pada tahun 1970
2.      Komando Jihad pada tahun 1976-1981
3.      Jamaah Imran pada tahun 1981
4.      Kasus Teror Warman tahun 1982-1984
5.      Pembantaian Tanjung Priok oleh aparat pada 12 September 1984
6.      Peristiwa Talangsari Lampung 1988-1989
Anehnya, seluruh media massa dan elektronik di seluruh penjuru tanah air seakan berlomba-lomba untuk menyajikan bombardemen berita, dengan efek penyebaran ketakutan yang tak kalah mengerikan dibanding aksi-aksi ‘teror’ yang diperagakan oleh aparat saat penangkapan para aktivis muslim tersebut.
Sampai-sampai provokasi media tersebut berujung pada peringatan keras dari PWI dan berbagai forum media watch lainnya.[1] Ironisnya, aneka peringatan tersebut, seolah hanya angin lalu. Tak ada permintaan maaf, tak ada revisi berita dan bahkan tidak ada upaya kantor-kantor berita tersebut untuk kemudian sedikit memperbaiki pemberitaan yang mereka sajikan.

Siapakah yang Diuntungkan Dalam Aksi ‘Teror’ ini?
Jika kita mau sedikit merenungi perkembangan kasus terorisme di tanah air, tentunya kita akan bertemu dengan pertanyaan besar, “Siapakah yang diuntungkan dengan operasi antiteror ini?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali kita akan segera membuat daftar panjang pihak-pihak yang mengambil untung dari peristiwa tersebut. Mulai dari Kepolisian RI yang kemudian menjadi lembaga superbody, sehingga tidak memerlukan lagi proses pengadilan demi mengeksekusi nyawa seseorang yang masih berstatus tersangka, belum berstatus terdakwa, belum pula berstatus terpidana.
Kemudian juga media massa, yang tampak begitu bernafsu demi menaikkan tiras atau pendapatan iklan dari berbagai berita yang mereka sajikan. Tanpa peduli lagi etika-etika jurnalistik yang seharusnya menjadi doktrin asasi para jurnalis di seluruh dunia.
Selain itu, fenomena menarik lainnya adalah masuknya kembali organ-organ TNI dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan warga negara. Dengan diaktifkannya kembali struktur territorial TNI sampai ke tingkat pedesaan (Babinsa).
Tak ayal, keterampilan komando territorial TNI dalam mengolah isu dan menciptakan situasi pra perang (baca: permusuhan) di masyarakat jauh di atas kepolisian. Sehingga muncullah satu realitas yang aneh: “Penghakiman massa atas jasad para tersangka yang belum melalui proses pengadilan tersebut.”
Hal ini muncul dari berbagai tanggapan aneh, seperti penolakan jasad  para tersangka tersebut untuk dimakamkan di daerahnya. Betapa tidak? Jelas-jelas yang datang ke desa atau tempat pemakaman mereka hanyalah jasad tak bernyawa, tetapi masih juga ditolak pemakamannnya . Sungguh, ini adalah suatu sikap yang sangat tidak mencerminkan budaya masyarakat Indonesia yang tepa-salira dan saling memaafkan.
Demikianlah, kita melihat adanya proses adu-domba antar umat Islam. Pada satu sisi, para tersangka tersebut menyatakan menyelamatkan kepentingan umat Islam dengan melawan agen-agen Amerika di Indonesia. Pada sisi yang lain, masyarakat dan sejumlah ‘ulama’ yang termakan propaganda menyatakan menyelamatkan umat Islam dari keyakinan teroris.
Sebuah politik Devide et Impera yang tak bisa ditolak realitanya. Aroma kepentingan asing (baca: Amerika) sebagai pihak yang mendalangi berbagai  peristiwa tersebut pun semakin menyengat, manakala ditemukan sejumlah bukti bahwa tersangka pendana segala aksi teror di Indonesia yang diklaim adalah Warga Negara Arab Saudi yang bernama Al Khaelawi Ali Abdullah alias Al Khalil Ali alias Ali Muhammad ternyata ber-KTP (keluaran 1999) dan berpassport Amerika!
Bahkan, Mr. Ali Mohamed tersebut pun juga dianggap telah melatih sejumlah teroris dan memberikan sejumlah dana mereka untuk melakukan operasi pembunuhan terhadap SBY, peledakan dan berbagai aksi teror lainnya.
Anehnya, sekaligus aneh bin ajaib! Pihak kepolisian, KBRI dan berbagai pihak yang semestinya bertanggung jawab terhadap hal ini, justru tidak memberikan  keterangan yang semestinya. Yang terjadi justru segala informasi ditutup-tutupi, sungguh sangat bertentangan dengan ide-ide transparansi yang menjadi nafas utama Reformasi di Indonesia.
Sandiwara berikutnya pun sudah pasti bisa ditebak, Ali Mohamed akan di cross-check ke Kedutaan Besar AS di Indonesia. Selanjutnya,  di permukaan kedutaan tersebut tidak akan mengakui bahwa Ali Mohamed adalah warga Amerika, sedangkan secara rahasia Amerika menyelamatkan ‘sang agen’ tersebut dengan mengembalikannya secara rahasia ke Amerika.
Sebuah kenyataan bahwa pemerintah yang ada tengah melakukan operasi ”Pancing dan Jaring” jilid II. Pada saat yang sama mereka memancing para aktivis yang over radikal-dengan keberadaan Ali Mohamed tersebut, untuk kemudian menjaring segala bentuk elemen senafas yang ada di masyarakat meski mereka tidak setuju dengan berbagai peristiwa yang ada di Indonesia.

Penanganan Terorisme = Potret Kegagalan Reformasi
Jika kita renungi, potret penanganan para tersangka teror di Indonesia jelas-jelas menunjukkan kegagalan Reformasi yang telah berjalan lebih dari 11 tahun. Paling tidak hal ini bisa dilihat pada fenomena berikut.
Pertama:  Penanganan ini dilakukan dengan menempatkan kepolisian sebagai lembaga superbody. Padahal jelas, bahwa lembaga kepolisian memiliki catatan korupsi yang telah dimaklumi publik.
Kedua:  Pengaktifkan kembali seluruh unit territorial TNI dalam menciptakan kondisi yang diinginkan kepolisian di kalangan masyarakat awam. Padahal, jika dilihat secara umum, masyarakat awam dan pedesaan bukanlah sasaran para tersangka tersebut, sedangkan yang menjadi sasaran adalah hotel-hotel dan kepentingan milik Amerika.
Ketiga: Tiadanya proses penegakan hukum, tetapi yang ada adalah proses eksekusi yang tanpa melalui jalur hukum yang semestinya. Kepolisian yang ada saat ini tidak lagi menunjukkan sebagai pengayom masyarakat. Tetapi lebih menunjukkan sebagai agen baru militerisme di Indonesia.
Keempat: Tidak adanya transparansi dalam pengungkapan bukti-bukti utama dan saksi-saksi kunci dalam penanganan kasus teror. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Ali Mohamed yang jelas-jelas menjadi aktor utama. Betapa tidak? Tanpa pendanaan dari Ali Mohamed, para tersangka tersebut jelas tidak mungkin melaksanakan aksi teror, sebagaimana yang dituduhkan kepolisian tersebut.
Kelima: Hilangnya fungsi pemerintah sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat, sehingga muncul upaya untuk mengintimidasi segala bentuk ormas-ormas terbuka bentukan rakyat yang telah menikmati udara kebebasan reformasi. Dengan tuduhan sebagai aktor utama pemikiran radikalisme Islam.
Demikianlah realitas yang bisa kita petik dari penanganan kasus terorisme yang ada di tanah air. Sebuah kenyataan yang menunjukkan bahwa kita sudah seharusnya melakukan satu upaya balik untuk menyadarkan masyarakat, bahwa mereka telah dipimpin oleh penguasa korup yang mudah dikendalikan oleh kepentingan asing, sehingga rela mengorbankan rakyat sendiri.


[1] Sebagaimana yang dimuat di sejumlah surat kabar pasca penyerangan Noordin M. Top di Temanggung. www.ansharuttauhid.com

0 komentar:

Post a Comment